Kebohongan yang Tak Pernah Mau Jalan Sendiri

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi - Kebohongan yang Tak Pernah Mau Jalan Sendiri
“Sekali berbohong, kita cenderung menimpalinya dengan kebohongan-kebohongan baru, agar orang percaya bahwa ujaran pertama benar belaka.”
Adagium klasik itu tak pernah klise; tetap aktual. terdengar seperti nasihat dari kakek-kakek bijak di tengah ladang teh. Tapi lebih sering datang dari kenyataan sehari-hari: di ruang tamu, di grup WhatsApp keluarga, di rapat kerja, atau di cermin kamar mandi saat kita sedang mencoba meyakinkan diri bahwa “nggak apa-apa kok bilang sakit padahal males ngampus.”

Kebohongan itu seperti tanaman kaktus yang kita pelihara. Awalnya kecil, lucu, estetik di meja kerja. Tapi lama-lama tumbuh liar, berduri, dan makan ruang, lalu tiba-tiba nyakar wajah sendiri. Masalahnya, waktu pertama kali tanam, kita yakin ini cuma hiasan. Kita tak sadar: ia tumbuh dengan diam-diam, memerlukan pupuk, berupa kebohongan tambahan.

Kenapa Kita Bohong?

Mari kita mulai dengan pertanyaan eksistensial yang tampak remeh tapi sebenarnya menghantui umat manusia sejak zaman Adam pura-pura nggak tahu soal apel itu.

Kita bohong karena takut. Takut kehilangan wajah, kehilangan kesempatan, kehilangan cinta, atau, kehilangan diskon promo kalau ngaku sebenarnya bukan first-time buyer. Kita ingin terlihat baik, benar, masuk akal. Dan bohong, sayangnya, sering terasa seperti jalan pintas yang nyaman.

Tapi seperti semua jalan pintas: ada jebakan setan di tikungan.

Setelah satu kebohongan keluar, kita mulai merasa perlu membuat penjelasan tambahan. Bohong yang pertama terlalu ringkih kalau berdiri sendiri. Ia butuh tembok pendukung. Butuh narasi. Butuh efek cahaya dan musik latar.

Dan di situlah hidup mulai jadi semacam pertunjukan panggung teater absurd: satu aktor, seribu peran, dengan penonton yang, anehnya, kadang justru ikut pura-pura percaya.

Membangun Dunia Fiksi Versi Kita Sendiri

Setiap kebohongan yang kita pelihara adalah upaya kecil untuk menciptakan semesta alternatif. Di dalamnya, kita tokoh utama yang tidak bersalah, punya alasan kuat, dan semuanya make sense, asal jangan dibedah terlalu dalam.

Contoh:
  • “Aku telat karena macet” padahal kita baru bangun. 
  • “Aku cinta kamu apa adanya” padahal baru aja edit background mantan Pakai Canva. 
  • “Gajiku masih di bawah UMR” padahal baru checkout troli senilai gaji satu RT. 
Kebohongan-kebohongan kecil itu, lama-lama mengumpul. Menjadi narasi utuh. Sebuah identitas palsu yang kita percaya sebagai kenyataan. Ironisnya, makin lama kita hidup dalam narasi itu, makin sulit membedakan mana yang benar dan mana yang kita karang sambil setengah ngantuk waktu ditanya.

Kebohongan Itu Berat, Bung

Berat bukan karena dosa, kita sudah sering melewati itu dengan hati kecil yang memble tapi tetap ngopi. Berat karena ia harus dijaga. Disimpan. Diingat.

Dan otak manusia, sayangnya, tidak didesain untuk mengingat semua kebohongan. Kita bisa ingat ukuran sepatu mantan, tapi lupa kita pernah bilang apa dua minggu lalu ke bos tentang alasan cuti mendadak.

Kebohongan butuh energi. Seperti aplikasi background yang nyedot baterai. Awalnya tak terasa, tapi lama-lama capek sendiri. Muncul lelah yang tak jelas, rasa gelisah tanpa sebab. Kita jadi sensitif. Suka marah kalau ditanya, “Eh waktu itu kamu bilang…” karena kita tahu: semua bisa runtuh kalau satu lubang kecil ditemukan.

Lalu Apa? Jujur Saja? Emangnya Segampang Itu?

Kita hidup di dunia yang kadang lebih menghargai penampilan daripada kejujuran. Maka tak heran kalau banyak orang memilih kebohongan sebagai alat bertahan hidup. Karena jujur kadang bikin kita kehilangan, pekerjaan, citra, bahkan relasi.

Tapi ada paradoks menarik: kebohongan memberi ilusi keamanan, namun pada saat yang sama menciptakan kecemasan abadi.

Sementara kejujuran kadang menyakitkan, tapi setelah badai reda, ada rasa ringan yang sulit dijelaskan. Seperti setelah pup panjang, lega.

Penutup

Tulisan ini bukan bermaksud menyarankan kita harus selalu jujur. Hidup terlalu kompleks untuk dinilai hitam putih. Tapi kalau kita sudah mulai lelah menjaga kebohongan yang kita rawat dengan penuh dedikasi, mungkin itu pertanda kita sebenarnya siap pulang: ke versi diri kita yang lebih ringan, lebih polos, dan lebih jujur, meski tak sempurna.

Karena sejujurnya, semua orang pernah bohong. Tapi tidak semua orang cukup berani berhenti.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS