![]() |
Ilustrasi AI |
Sebelum ada demokrasi, sebelum ada Instagram, bahkan sebelum ada negara dan cicilan KPR, dunia pernah dikelola oleh dua manusia pertama: Adam dan Eva. Tapi mari jujur: Adam itu seperti pegawai lama yang datar-datar aja, sedangkan Eva, perempuan pertama yang bikin sejarah bergerak, walau dengan konsekuensi digebukin narasi selama ribuan tahun.
Ketika Keingintahuan Dicap sebagai Dosa
Kisah klasiknya: Tuhan bikin taman yang indah, penuh buah-buahan. Semua boleh dimakan, kecuali satu, buah dari pohon pengetahuan.
Lalu datanglah ular (entah itu Lucifer atau hanya stafnya) dan berkata: “Yakin nggak mau tahu bedanya baik dan buruk?”
Dan Eva, yang mungkin sudah lelah hidup tanpa literasi moral, memutuskan untuk makan. Karena ingin tahu. Karena ingin berpikir. Karena ingin bebas. Tapi sejak saat itu, Eva bukan dikenang sebagai pelopor kesadaran, melainkan ibu dari segala dosa.
Padahal, coba kita pikir, kalau Eva tidak makan apel, kita semua masih bugil dan bingung membedakan mana dosa dan mana birokrasi.
Narasi yang Dibangun oleh Laki-laki Bertitel Wahyu
Kitab-kitab suci ditulis dan ditafsirkan selama ribuan tahun oleh laki-laki. Lalu Eva dijadikan kambing betina hitam yang menggoda, yang lemah, yang membuat Adam jatuh.
Lucu ya? Adam ikut makan, tapi tidak pernah ikut dihukum narasi. Kalau ada ujian sejarah surgawi, tentang siapa penyebab manusia jatuh ke bumi?Jawabannya, Eva.
Padahal pertanyaannya tidak pernah diajukan ke Eva. Apa dia diberi kesempatan membela diri? Tidak. Apa dia dikasih ruang opini? Tidak. Apa dia pernah diwawancarai podcast The Heaven Times? Jelas tidak.
Eva Sebagai Simbol Revolusi
Eva bukan pendosa. Eva adalah pembuka bab pertama kesadaran manusia. Kalau dia tidak menggigit apel, kita semua tidak tahu rasa pahit manis kehidupan. Kalau dia tidak melawan larangan, kita tidak akan pernah belajar tentang konsekuensi, pilihan, dan tanggung jawab.
Eva adalah tokoh pertama yang berani bilang “tidak” terhadap ketaatan buta. Dia adalah pionir filsafat eksistensial, yang memilih makna daripada kemudahan, memilih resiko daripada ketaatan yang steril.
Simbolisasi Eva masih hidup hingga kini. Setiap kali perempuan mengkritik, mempertanyakan, atau bahkan memimpin, sering kali muncul bisikan patriarkal: “Itu godaan… hati-hati… perempuan itu bikin kacau…”
Padahal, perempuan yang bertanya itu bukan “penggoda”, tapi penantang status quo. Perempuan yang menggigit “apel zaman modern” adalah Eva-Eva baru, yang berani resign dari hubungan toksik, yang melawan gaji timpang, yang bilang “tidak” pada narasi lama tentang perempuan harus diam, patuh, dan cantik demi disukai surga.
Eva dalam Diri Kita Semua
Setiap kali kita bertanya, “Kenapa harus begini?” Setiap kali kita melawan aturan yang tidak adil. Setiap kali kita lebih memilih pengetahuan daripada kepatuhan. Pada akhirnya, kita semua adalah Eva.
Eva bukan hanya simbol perempuan. Dia simbol manusia yang ingin hidup dengan sadar. Dan untuk itu, dia layak diperingati, bukan dikutuk.
Eva tidak menciptakan dosa. Dia menciptakan kesadaran akan pilihan, dan pilihan itulah yang membuat kita jadi manusia yang benar-benar manusia.
Jadi kalau suatu hari kamu merasa hidup ini pahit karena terlalu banyak berpikir, terlalu banyak memilih, terlalu banyak memberontak, ingatlah, kamu cuma sedang mengunyah apel yang sama, dengan rasa yang sama, dalam perjuangan yang belum selesai.