![]() |
RPJMD: Rencana Panjang Jauh dari Masyarakat Desa |
Judulnya saja sudah terdengar meyakinkan. Kata “rencana” memberi kesan bahwa kita tahu mau ke mana. Kata “pembangunan” memberi janji bahwa akan ada yang dibangun. Kata “jangka menengah” memberi ilusi waktu yang cukup. Dan kata “daerah”… ya, memberi kesan bahwa ini tentang kita semua.
Tapi begitu dibaca, dijalankan, lalu diikuti dari desa, terasa sekali bahwa RPJMD seringkali bukan milik rakyat. Ia lebih mirip manuskrip yang dibikin di kota, oleh orang kota, dan untuk proyek-proyek yang lebih sering mampir ke pusat kota juga.
Sementara desa? kebagian dengar istilah-istilah asing: baseline, roadmap, indikator capaian kinerja. Orang desa hanya mengangguk. Padahal dalam hati, mereka lebih paham bahasa tanah yang retak, jembatan yang nyaris ambruk, atau retribusi yang naik tapi pelayanan tetap aja nyangkut.
RPJMD mungkin sah secara hukum, tapi sering kehilangan ruh secara sosial. Ia dibahas dalam musrenbang yang kadang lebih banyak formalitas daripada rasa ingin tahu. Lalu diluncurkan dalam buku tebal yang cuma dibaca oleh segelintir birokrat dan mahasiswa tugas akhir.
Padahal, apa susahnya menulis RPJMD dengan sederhana:
- Tahun pertama, kita benahi jalan.
- Tahun kedua, fokus air bersih.
- Tahun ketiga, buka lapangan kerja.
- Tahun keempat, bantu anak muda bertani tanpa takut rugi.
- Tahun kelima, benahi data dan dengarkan rakyat.
Kita lupa bahwa orang-orang di desa tidak minta dijadikan “objek pembangunan berbasis data spasial berkelanjutan”. Mereka hanya ingin diperlakukan sebagai manusia, yang layak didengar sebelum direncanakan.
Lucunya lagi, RPJMD sering jadi dalih: “Maaf, itu tidak tercantum di RPJMD.” Seolah-olah kalau ada usulan rakyat yang baik tapi tak tertulis di dokumen itu, maka ia otomatis tak layak dilaksanakan. Padahal perubahan justru sering muncul dari hal-hal tak terduga, bukan dari rencana yang kaku.
Dan ketika masa jabatan hampir habis, tiba-tiba kita melihat ada yang terburu-buru: proyek-proyek dikebut, dana digeser, kegiatan digelar dengan alasan “percepatan realisasi RPJMD”. Seakan selama empat tahun kita tidur, dan di tahun kelima kita baru sadar, “loh, rencanaku kok belum jalan, ya?”
Rakyat desa tidak butuh rencana panjang yang jauh dari kehidupan mereka. Mereka butuh suara mereka masuk dalam rencana. Butuh jalan yang bisa dilalui. Butuh sekolah yang layak. Butuh ruang hidup yang tak dibanjiri jargon.
RPJMD seharusnya bukan kitab suci yang tidak boleh diganggu gugat, tapi peta perjalanan yang bisa direvisi kalau arah kompas berubah. Sebab hidup rakyat, seperti halnya jalan desa yang sering rusak, tidak bisa dilalui hanya dengan rencana.
Ia butuh kaki yang mau melangkah, dan telinga yang mau mendengar.
“Rencana yang tak membumi hanyalah pengantar untuk rencana berikutnya yang akan tetap tak membumi.” — (Kitab Ngauriyah, Surat Skeptisiah ayat 7)