 |
DBR |
Buku Di Bawah Bendera Revolusi bukan sekadar kumpulan pidato, tulisan, dan gagasan Sukarno, melainkan semacam playlist intelektual yang merekam denyut nadi bangsa yang tengah mencari jati diri – mirip anak muda yang lagi galau, bingung antara tetap setia pada idealisme atau kompromi dengan realitas. Di dalamnya, kita tidak hanya menemukan visi politik, tetapi juga dialektika antara realitas historis dan dimensi metafisis revolusi itu sendiri.
Sukarno di sini bukan hanya pemimpin politik biasa. Dia adalah filsuf, orator, dan sedikit banyak seorang influencer zamannya, bedanya kalau sekarang orang berjuang buat dapat verified badge, Sukarno berjuang untuk verified nation. Dengan gaya khasnya, ia meramu pemikiran Barat dan Timur, Marxisme dan Islam, nasionalisme dan humanisme, menjadi satu adonan ide yang lebih kompleks dari algoritma media sosial.
Revolusi: Dari Fenomenologi ke Eksistensialisme (dan Drama Kehidupan)
Dalam perspektif fenomenologi, revolusi itu bukan cuma soal mengganti sistem atau presiden, tetapi pengalaman eksistensial yang mengubah subjektivitas kolektif. Mirip kayak seseorang yang baru putus, lalu menemukan jati dirinya di kafe kopi indie sambil membaca Nietzsche – revolusi adalah momen di mana sebuah bangsa tiba-tiba sadar, “Oh, ternyata selama ini kita dijajah, ya?”
Sukarno memahami revolusi sebagai proses becoming, bukan sekadar tujuan akhir. Ia tahu bahwa kebebasan sejati bukan sesuatu yang bisa di-checkout di e-commerce, tapi sesuatu yang harus diperjuangkan terus-menerus. Dalam kerangka eksistensialisme, revolusi bukan titik akhir, tetapi modus eksistensi, bangsa Indonesia tidak punya pilihan selain berjuang, karena seperti kata Sartre, “Man is condemned to be free”. Atau kalau mau versi lokalnya: “Merdeka itu bukan hadiah, tapi PR seumur hidup.”
Di sisi lain, Sukarno juga menyadari bahwa penderitaan dan pengorbanan adalah bagian dari revolusi, mirip kayak mahasiswa semester akhir yang harus begadang demi skripsi. Dalam terminologi Heidegger, bangsa Indonesia “terlempar” ke dalam revolusi, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan embrace realitas itu, bukan malah rebahan sambil berharap semuanya beres sendiri.
Marhaenisme: Antara Marx, Spiritualitas, dan “Self-Improvement” ala Kaum Tertindas
Marhaenisme bukan sekadar versi lokal dari Marxisme. Sukarno paham bahwa rakyat kecil (Marhaen) bukan sekadar korban sistem, tetapi juga content creator dalam sejarah bangsa. Mereka bukan hanya objek penderita, tapi juga aktor perubahan.
Ini mirip dengan konsep pedagogy of the oppressed ala Paulo Freire: kaum tertindas bukan sekadar menunggu diselamatkan, tapi harus ikut aktif dalam perubahan. Dalam konteks sekarang, bisa dibilang Marhaenisme itu seperti mentalitas hustle culture, tapi dengan kesadaran kelas. Bedanya, kalau hustle culture sering kali eksploitatif (work hard, no sleep, die rich), Marhaenisme justru ingin rakyat kecil sadar akan hak dan kekuatannya untuk membentuk masa depan yang lebih adil.
Nasionalisme: Dari Dekonstruksi Kolonial hingga Branding Bangsa
Sukarno tidak melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang statis. Bagi dia, nasionalisme bukan hanya soal bendera dan lagu kebangsaan, tapi soal narrative control. Dalam dunia digital sekarang, ini seperti branding, kalau negara diibaratkan sebagai merek, maka nasionalisme adalah strategi pemasaran yang memastikan kita nggak kehilangan jati diri di tengah arus globalisasi.
Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, kita bisa melihat upaya Sukarno dalam membangun brand identity Indonesia. Ia tidak mau Indonesia sekadar jadi side character dalam sejarah dunia. Ia ingin kita punya suara, punya karakter, punya style sendiri. Dengan semangat ini, ia mendekonstruksi narasi kolonial yang telah menempatkan kita sebagai bangsa kelas dua. Sukarno basically berkata, “Stop jadi ‘bucin’ kolonialisme! Waktunya kita nulis takdir sendiri.”
Revolusi itu Journey, Bukan Destination
Secara keseluruhan, Di Bawah Bendera Revolusi bukan hanya buku politik, tapi juga teks filosofis yang merekam pergulatan intelektual seorang pemimpin dalam memahami dan menavigasi arus sejarah. Revolusi, bagi Sukarno, bukan sekadar alat politik, tapi juga self-discovery journey bagi sebuah bangsa.
Jika di era sekarang banyak orang mencari jati diri lewat traveling atau meditasi, Sukarno percaya bahwa bangsa Indonesia hanya bisa menemukan dirinya lewat perjuangan. Revolusi adalah bagian dari proses itu – mirip kayak upgrade software, harus terus diperbarui agar tidak ketinggalan zaman.
Di sini, kita melihat bahwa revolusi bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang menuju kebebasan yang lebih otentik. Bangsa Indonesia, dalam perspektif Sukarno, dikutuk untuk terus berjuang, karena kebebasan sejati hanya mungkin dalam gerak yang tak pernah berhenti.