Sekilas Catatan dari Festival Kopi Nawangan Vol.3

Oleh: Redaksi |


OPINI,— Festival Kopi Nawangan volume 3 diawali pada pagi hari tanggal 27 September 2025 dengan penyelenggaraan diskusi bersama masyarakat dan petani kopi Jepurun desa Pakisbaru Nawangan yang menghadirkan narasumber Aldicky Faizal Amri (Dicky) seorang pegiat dan pendamping pertanian kopi dari Yogyakarta yang banyak terlibat dalam pendampingan dan pemberdayaan petani kopi di Yogyakarta dan sekitarnya, diskusi berlangsung hangat dengan topik utama revitalisasi petani kopi dan sharing informasi mengenai tata kelola komoditas kopi.

Dalam pemaparannya, Dicky banyak menyandarkan pada sisi kesejarahan bagaimana komoditas kopi khususnya Nawangan memiliki posisi strategis bahkan sejak masa kolonial. 

Dari diskusi selanjutnya dapat ditarik beberapa hal termasuk antusiasme masyarakat terkait budidaya dan tata kelola komoditas kopi hingga munculnya optimisme terhadap masa depan kopi Nawangan itu sendiri 

Pada siang harinya, lepas tengah hari kawan-kawan seniman yang berkolaborasi dengan masyarakat dusun Jepurun desa Pakisbaru Nawangan secara estetik membangun narasi bagaimana sebuah kebudayaan ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan.

Venue dihidupkan oleh kelompok seni karawitan Sekar Bawono Nawangan, sedangkan Sanggar Pradnya menggarap koreografi tentang methik (panen) kopi setelah sebelumnya tumpeng dan hasil panen diarak memasuki lapangan dan kemudian dilanjutkan dengan umbul donga (doa) dari tokoh masyarakat setempat.

Setelahnya masyarakat yang hadir diajak bersama-sama murak tumpeng atau makan bersama sebagai manifestasi rasa syukur atas musim panen kali ini dengan iringan karawitan dari Sekar Bawono. Acara dilanjutkan dengan pementasan-pementasan kesenian masyarakat seperti slawatan khataman nabi Naya Genggong Njurang Nawangan, tari Ningkinda dari murid-murid MIPK Insan Madani Pakisbaru, tari remo oleh seniman Mashuri, japa mantra dari komunitas Song Meri Pacitan kemudian ditutup dengan tari lengger banyumasan dari Sanggar Pradnya Pacitan yang melibatkan penonton untuk berinteraksi bersama dalam gerak tari.

Pada malam harinya venue dihidupkan dengan tampilan kelompok keroncong Starlink dari Nawangan dan ditutup dengan acara tayuban yang melibatkan masyarakat dusun Jepurun dan sekitarnya dengan diiringi karawitan Sekar Bawono.

Festival kopi nawangan volume 3 mencoba menawarkan sebuah bentuk alternatif dari sebuah festival kebudayaan. Selama ini festival cenderung dipandang sekadar bentuk lain dari pentas-pentas hiburan yang jika ditelisik lebih dalam tidak memiliki tujuan yang lebih spesifik selain sebagai tontonan dan tentu saja hiburan.

Dalam manifesto kegiatannya, Pakopen Nawangrejan sebagai motor festival yang merupakan komunitas pelaku dan pegiat budaya kopi Nawangan menyatakan berangkat dari keyakinan bahwasanya kebudayaan adalah urat nadi masyarakat sedangkan kesenian adalah bentuk ekspresi dari kebudayaan itu sendiri dan festival ini merupakan prototype realisasi dari konsep yang dimaksud.

Dari sini kita bisa mencoba memahami bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk operasional dari konsep dan kesadaran resistensi terhadap estetisasi budaya masyarakat (estetisasi dalam konteks politisasi estetis yang pragmatis dari sebuah festival kebudayaan masyarakat) dan mulai memandang kesenian dan kebudayaan dari sudut yang lebih luas.

Dengan demikian sebuah festival bukan lagi merupakan bentuk-bentuk pemanggungan estetika artifisial yang tidak memiliki konteks dan akar dalam keseharian masyarakat melainkan sebuah wadah pertisipatif untuk menggali dan mengamplifikasi potensi-potensi kebudayaan dari masyarakat itu sendiri yang dalam hal ini berpijak pada kultur kopi rakyat yang memiliki sejarah panjang bagi masyarakat Nawangan. Sebuah festival selanjutnya diharapkan mampu membawa dampak yang lebih luas dalam tata laku sosial budaya hingga ekonomi masyarakat yang terlibat.

Lebih jauh tolok ukur keberhasilan festival bukan lagi diukur dari sekadar tepuk sorak ramainya penonton yang hadir melainkan peran aktif dalam keberlanjutan perkembangan masyarakat pelaku budaya (kopi) itu sendiri sebagai sebuah bentuk kesadaran untuk merawat peradaban dan masa depan. Semoga.

Penulis: Dhidik Danardhono (Pecalang)


Seniman-seniman Pacitan yang terlibat:

- Sanggar Pradnya
- Rani Iswinedar
- Pandu Sadeka
- Rimang
- Mashuri
- Misbah Daeng Bilok
- Aminudin Sastropawiro (Song Meri)
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS