Ini Opini

Oleh: Redaksi |
OPINI — Perlu dibedakan secara jelas antara berita (news report) dan opini/kritik (op-ed). Standar kerja jurnalistik memang mengharuskan berita faktual diverifikasi dengan minimal dua sumber. Namun, tulisan saya soal peran SBY dalam peresmian branding wisata Pacitan bukanlah laporan berita, melainkan artikel opini yang memuat analisis, tafsir simbol, dan argumentasi. 

Dalam opini, sumber informasi utama bukanlah pernyataan narasumber, melainkan fakta publik yang bisa diakses semua orang, misalnya pengumuman resmi EMP, nama-nama tokoh yang terlibat, dan agenda acara. Fakta-fakta tersebut sudah tersedia di pemberitaan resmi, sehingga sah untuk dianalisis tanpa harus mengulang wawancara kepada pihak yang sudah menyatakannya secara terbuka. 

Kedua, dalam dunia jurnalisme opini, yang diuji bukanlah “siapa narasumber yang diwawancarai”, melainkan ketajaman logika. Saya tidak sedang membongkar kasus kriminal atau menuduh pelanggaran hukum yang memerlukan klarifikasi khusus. Saya mengkritik sebuah pilihan simbolik dan etis, yaitu peran SBY dalam peresmian branding, yang memang berada di ranah interpretasi publik. 

Ketiga, gagasan bahwa kritik harus selalu diawali izin atau konfirmasi dari pihak yang dikritik justru berbahaya. Itu akan menempatkan figur publik di posisi gatekeeper opini, yang mana kritik hanya boleh muncul jika mereka mengizinkan atau menjawab pertanyaan terlebih dahulu. Padahal, kebebasan berpendapat memberi ruang bagi warga negara untuk mengemukakan pendapat berdasarkan informasi terbuka, tanpa harus mendapat restu dari pihak yang dikritik. 

Keempat, menuntut semua kritik diawali wawancara ke narasumber sama saja dengan memandulkan opini independen. Bayangkan jika setiap kolumnis, akademisi, atau aktivis harus mewawancarai pihak yang dikritik sebelum menulis, banyak kritik tak akan pernah lahir karena pihak yang dikritik bisa saja memilih untuk tidak merespons. 

Kelima, jika pihak yang menjadi subjek kritik merasa keberatan atau punya pandangan berbeda, mereka punya hak jawab. Inilah mekanisme sehat, opini dilawan dengan opini, argumen dilawan dengan argumen, bukan dengan stigmatisasi seperti “berkhayal sendiri” atau “menyesatkan”. 

Kesimpulannya, tulisan saya yang berjudul Ada Apa di Balik Peran SBY dalam Branding Pariwisata Pacitan? bukan berita yang mengklaim fakta baru, melainkan opini yang menginterpretasikan fakta publik. Dalam konteks ini, standar verifikasi berita tidak otomatis berlaku. Yang berlaku adalah standar argumentasi, apakah logis, dan terbuka untuk diperdebatkan. Dan semua itu saya penuhi.


Oleh: Muhamad Tonis Dzikrullah (masyarakat Pacitan yang selalu merindukan kehadiran Bapak SBY)
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS