![]() |
Ilustrasi Proyek Mangkrak |
Opini — Pemerintah Kabupaten Pacitan tengah membangun kantor baru untuk Inspektorat dengan nilai proyek mencapai Rp2,7 miliar. Rencana ini tampak gagah di atas kertas, tapi jika ditelisik lebih dalam, ada sejumlah hal yang patut dipertanyakan, mulai dari landasan regulasi, urgensi, hingga praktik pelaksanaannya di lapangan.
Pertama, soal regulasi. Presiden melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 sudah menekankan pentingnya efisiensi penggunaan anggaran dan pengendalian belanja pemerintah. Logika sederhananya, di tengah keterbatasan fiskal dan banyaknya kebutuhan mendesak, pembangunan gedung baru seharusnya bukan prioritas. Renovasi atau optimalisasi gedung lama bisa jadi pilihan yang lebih rasional. Maka ketika Inspektorat bersikeras membangun dari nol, pertanyaannya apakah ini sesuai dengan semangat Inpres tersebut, atau justru bertolak belakang?
Kedua, soal tender dan pelaksanaan. Kabar yang beredar, pemenang tender proyek ini berasal dari luar kota. Tentu secara aturan hal itu tidak dilarang, tapi menjadi ironis ketika penyedia lokal yang seharusnya bisa diberdayakan malah terpinggirkan. Lebih ironis lagi, pelaksanaan proyek ini disebut-sebut tersendat karena material sering terlambat datang akibat kendala finansial kontraktor. Bahkan kabarnya banyak para pekerja proyek akhirnya pulang kampung karena tidak ada yang bisa dikerjakan. Kalau kondisi di lapangan seperti ini, bagaimana publik bisa yakin proyek ini akan selesai tepat waktu dan tepat mutu? Atau malah akan berujung menjadi “Monumen Ngeyel yang Mangkrak”? Kita lihat nanti, yang penting mimin dari awal sudah coba mengingatkan. Ehm.
Ketiga, soal urgensi. Apakah benar kantor Inspektorat lama sudah tidak layak pakai? Ataukah hanya tidak seindah kantor lain untuk dipajang di media?
Di sinilah muncul pertanyaan yang lebih mendasar, sejauh mana Inspektorat sendiri sudah benar-benar menjalankan fungsi pengawasan? Apa kabar adanya temuan dugaan kegiatan fiktif di Disparbudpora? Apa kabar dugaan penyimpangan anggaran di Dishub? Sudahkah semuanya ditangani tuntas, atau sekadar berhenti sebagai laporan yang hilang ditelan waktu?
Ironisnya, di saat fungsi pengawasan masih banyak dipertanyakan, energi justru diarahkan untuk membangun gedung baru. Apakah gedung megah otomatis membuat kinerja Inspektorat semakin bersih dan tajam? Sejarah menunjukkan tidak demikian. Kinerja pengawasan tidak ditentukan oleh marmer di lantai atau kaca di dinding, melainkan oleh keberanian, integritas, dan independensi aparat di dalamnya.
Pembangunan gedung pemerintah memang tampak nyata, ada bentuk fisiknya, ada plakatnya, ada potret peresmian pejabat dengan senyum lebar. Tapi pelayanan publik yang lebih cepat, transparan, dan akuntabel? Itu tidak bisa difoto. Padahal esensi Inspektorat justru ada di situ, mengawasi agar anggaran rakyat dipakai secara efektif. Bukannya malah ikut menambah daftar proyek yang patut dipertanyakan.
Gedung baru seharusnya lahir dari kebutuhan yang jelas, bukan sekadar simbol gengsi atau proyek penyerapan anggaran. Dan sebelum berbicara tentang lantai marmer dan cat baru, alangkah baiknya Inspektorat menjawab dulu satu hal, sudahkah fungsi lama dijalankan dengan benar? Kalau belum, ya jangan heran kalau gedung baru pun bernasib sama, berdiri setengah hati, lalu ditinggal pergi.