Misteri Watu Ebeg di Desa Watupatok: Jejak Aksara Kuno di Tanah Pacitan

Redaksi |
Watu Ebeg, Prasasti di Desa Watupatok, Kecamatan Bandar Pacitan | Foto: Sugeng Kariyodiharjo
Di sebuah desa bernama Watupatok, Kecamatan Bandar, Kabupaten Pacitan, berdiri sebuah bangunan batu yang hingga kini masih menyimpan misteri. Masyarakat setempat menyebutnya “Watu Ebeg”, sebuah sebutan yang mengundang tanya sejak lama. Disebut bangunan karena bentuknya jelas menunjukkan adanya campur tangan manusia, bukan hasil bentukan alam semata.

Batu itu berdiri setinggi dada orang dewasa dengan lebar sekitar satu depa. Di sisi kanan dan kiri terdapat dua batu besar, sementara di bagian tengah tampak semacam alas dari batu andesit. Sekilas, susunannya menyerupai sebuah pintu gerbang kuno yang mungkin mengarah ke tempat yang disucikan. 

Makna Kata “Ebeg” 

Dalam bahasa Jawa, kata ebeg memiliki beberapa arti. Menurut Poerwadarminta, ebeg dapat bermakna lemeking lapak kang rinengga-rengga (alas atau pelana yang dihias). Sementara dalam Kamus Jawa Kuna–Indonesia karya Zoetmulder, ebeg diartikan sebagai “tutup pelana yang dihias”, atau “tutup kulit dari pelana kuda beban.” Dari sini, muncul dugaan bahwa penamaan Watu Ebeg bisa berkaitan dengan fungsi atau simbol pelindung, mungkin bahkan bersifat ritualistik. 

Laporan Tua dari Abad ke-19 

Keberadaan batu bertulis di Watupatok ternyata sudah tercatat dalam Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, Deel XLVI, tahun 1890. 

Disebutkan bahwa pada tahun 1889, gambar dua batu dengan ukiran huruf besar dari “Watoe Patok, District Tegal Amba, afdeeling Patjitan” telah dikirim ke museum di Batavia. 

Tulisan pada batu itu disebut sebagai tulisan tentang pertanggalan, meski hingga kini belum diketahui dengan pasti masa dan raja pembuatnya. Kini, hanya tersisa satu huruf yang terbaca, diduga merupakan angka satu, sementara sisanya telah aus dimakan waktu. 

Ciri Aksara Kwadrat 

Tulisan pada batu Watupatok memiliki ciri khas yang menunjukkan gaya aksara kwadrat, suatu bentuk aksara dengan huruf besar, menonjol, dan tampak persegi empat. Berbeda dengan prasasti biasa yang dipahat ke dalam, aksara kwadrat justru dipahat menonjol keluar layaknya relief pada panel batu. 

Menurut penelitian Titi Surti Nastiti (2017), aksara kwadrat digunakan luas di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Prasasti yang menggunakan gaya ini ditemukan di berbagai tempat seperti Candi Sukuh, Candi Cetho, Patirtan Jalatunda, hingga Prasasti Pohsarang. Rentang penggunaannya membentang dari masa Prabhu Makutawangsawardhana (sekitar abad ke-10) hingga masa Majapahit akhir (abad ke-15). 

Jejak di Sekitar Wengker dan Panjalu 

Dari perbandingan dengan prasasti-prasasti lain, tampak bahwa wilayah Pacitan dan sekitarnya memiliki kedekatan sejarah dengan Kerajaan Wengker dan Panjalu (Kadiri). Nama Wengker sendiri disebut dalam beberapa sumber penting, antara lain Prasasti Pucangan (1041 M) pada masa Airlangga, Negarakretagama, dan Prasasti Renek (1457 M) yang dikeluarkan oleh Girishawardhana, penguasa Wengker. 

Di Ponorogo dan wilayah sekitarnya juga ditemukan sejumlah prasasti penting yang sezaman dengan Watupatok, seperti Prasasti Sirah Keting (1104 M), Prasasti Ketro (1133 M), dan Prasasti Mruwak (1186 M). Ketiganya menunjukkan kesinambungan budaya tulis yang kuat di wilayah barat Gunung Wilis, hingga ke tepian selatan Jawa, termasuk Pacitan. 

Kemungkinan Sezaman dengan Prasasti Ketro 

Jika memperhatikan bentuk aksara dan bahan batu yang digunakan, prasasti Watupatok memiliki kemiripan paling kuat dengan Prasasti Ketro yang ditemukan di Dusun Ngrenak, Desa Ketro, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Prasasti Ketro berangka tahun 1055 Çaka (1133 Masehi). 

Dengan pembacaan komparatif ini, sangat mungkin bahwa Prasasti Watupatok berasal dari masa yang sama. Artinya, prasasti tersebut dapat ditulis pada masa pemerintahan Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu, seorang raja yang juga disebut dalam Prasasti Sirah Keting (1104 M). 

Warisan yang Belum Terbaca 

Meski hanya menyisakan satu huruf, Watu Ebeg Watupatok tetap menjadi saksi penting dari perjalanan panjang kebudayaan tulis di tanah Pacitan. Batu itu menghubungkan daerah selatan Jawa dengan jaringan peradaban besar di masa klasik, Medang, Panjalu, hingga Majapahit. 

Setiap huruf yang hilang di batu itu, seakan mengajak kita untuk terus membaca kembali sejarah, bukan sekadar dari prasasti yang masih utuh, tapi juga dari keheningan batu-batu yang nyaris terlupa. 

Daftar Bacaan: 
  1. Nastiti, Titi Surti. Perkembangan Aksara Kwadrat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali: Analisis Paleografi. 2017. 
  2. Pararaton. 
  3. Prapanca, Mpu. Negarakretagama. 
  4. Purwanto, Heri. Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit. 2024. 
  5. Stutterheim, W.F. De Kraton van Madjapahit. 1948. 
  6. Syafi’i, Achmad. Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh. 2021. 
  7. Wikipedia, Prasasti Mruwak. 
  8. Wikipedia, Prasasti Renek. 
  9. Wikipedia, Prasasti Sirah Keting. 
  10. Wikipedia, Wengker.

Penulis: Sugeng Kariyodiharjo
Editor: Redaksi Ngauris

Klik untuk unduh File ⤵️


Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS