Keracunan MBG: Ketika Program Makanan Bergizi Gratis Gagal Menjaga Kepercayaan

Redaksi |
Ir. La Mema Parandy, S.T., M.M.CBPA
OPINI — Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada Januari 2025 hadir dengan tujuan mulia: menyediakan asupan bergizi bagi anak-anak sekolah. Namun, setelah sembilan bulan berjalan, program ini justru jadi sorotan akibat ribuan kasus keracunan di berbagai daerah. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 6.452 anak menjadi korban hingga September 2025, dengan Jawa Barat sebagai episentrum.

Kasus ini bukan sekadar angka statistik. Anak-anak usia SD dan SMP, rentang 6-15 tahun, mengalami mual, muntah, dan diare usai menyantap hidangan MBG. Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), penyebab utama adalah kontaminasi bakteri Salmonella dan Escherichia coli, disertai buruknya penyimpanan bahan seperti telur busuk, sayur berbelatung, dan daging asam. Kejadian di Bandung Barat yang memakan korban jiwa pada 24 September menambah luka mendalam bagi orang tua dan guru. Beban biaya pengobatan pun membengkak hingga lebih dari Rp 50 miliar. Tak kalah penting, trauma psikologis membuat banyak orang tua melarang anaknya menyentuh makanan MBG.

Masalah utama ada pada pengelolaan dapur penyedia MBG atau Satuan Penyediaan Pangan Bergizi (SPPG). Setiap dapur wajib mempunyai sertifikat halal dari BPJPH serta standar keamanan pangan (HACCP) dan sanitasi (SLHS). Namun, banyak dapur beroperasi tanpa sertifikasi. Kementerian Kesehatan dan BGN menargetkan 100% dapur tersertifikasi akhir 2025, namun langkah ini datang terlambat. Pusat Pengkajian dan Pemberdayaan Petani (P2G) bahkan menilai sertifikasi wajibnya dilakukan sejak awal agar bencana dapat dicegah.

Kekecewaan masyarakat pun memuncak. Tagar #HentikanMBG menjadi trending di platform X, dengan 70% netizen menuntut evaluasi total atau penghentian program. Media besar seperti Tempo dan Kompas menyoroti lemahnya sanksi untuk pelanggar standar. Kajian akademik dari UIN Jakarta menyebut kebijakan MBG menciptakan "krisis akuntabilitas" yang merusak kepercayaan publik.

Langkah penyelamatan harus segera diambil. Pertama, pemerintah wajib menerapkan prinsip zero tolerance terhadap dapur tanpa sertifikasi dengan sanksi tegas sesuai Undang-undang Pangan No. 18/2012. Kedua, pembinaan petani muda dan milenial agar terlibat dalam rantai pasok bahan pangan halal berstandar Global GAP dan HACCP harus diintensifkan guna menjamin kualitas dan keberlanjutan pangan. Ketiga, sebagian anggaran MBG bisa dialihkan ke kantin sekolah yang pengawasannya lebih langsung dan transparan. Publikasi rutin hasil uji laboratorium juga penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

MBG adalah ide mulia yang harus didukung, tapi implementasi yang lemah merugikan anak-anak yang seharusnya terlindungi. Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan makanan aman, bergizi, dan halal, bukan harus menanggung risiko keracunan dan trauma. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas agar program MBG kembali menjadi solusi gizi anak bangsa, bukan ancaman bagi masa depan generasi muda.

Oleh: Ir. La Mema Parandy, S.T., M.M.CBPA
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS