Retribusi Miliaran Kalah oleh Fatwa, Bagi Bupati Jepara: Investasi Harus Halal, Legal, dan Disetujui Langit

Oleh: Redaksi |

NGAURIS, JEPARA, — Bupati Jepara, Witiarso Utomo, buka suara soal heboh rencana investasi peternakan babi. Bukan main-main, ini bukan kandang kecil di belakang rumah warga, melainkan megaproyek peternakan modern yang konon katanya bisa melahirkan 2–3 juta babi per tahun. Jumlah yang, kalau dibandingkan dengan populasi warga Jepara, bisa bikin babi-babi itu punya organisasi sendiri dan ikut pilkada.

“Jadi calon investor ingin membangun peternakan modern, indukan babi diimpor dari luar negeri. Lalu dibesarkan di Jepara dengan kapasitas 2-3 juta ekor per tahun untuk diekspor. Retribusi untuk Jepara mencapai Rp300 ribu per ekor plus CSR,” jelas Wiwit.

Hitung-hitungan kasar: 3 juta ekor x Rp300 ribu = Rp900 miliar retribusi masuk ke kas daerah. Belum termasuk CSR, yang biasanya bisa berupa pembangunan jalan, taman, atau minimal kalender dinding. Tapi rupanya, bagi Pemkab Jepara, angka-angka ini tidak cukup sakral.

“Jepara adalah daerah yang religius. Kami lebih memilih mendengarkan petuah dan fatwa para kiai agar setiap kebijakan tidak melukai nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jepara,” tandasnya.

Wiwit menyebut sejak awal sudah memberi syarat ketat kepada investor. Selain dokumen dan analisis dampak lingkungan, calon investor harus dapat izin langit alias restu dari MUI, NU, dan para tokoh agama. Di Jepara, sepertinya investor bukan cuma harus fit and proper test soal duit dan teknologi, tapi juga lulus bahtsul masail.

“Setiap keputusan kebijakan di Jepara, termasuk soal investasi, harus sejalan dengan dawuh kiai dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)… Tanpa persetujuan dari MUI, NU, dan tokoh agama lainnya, izin tidak akan kami keluarkan,” lanjut Wiwit.

Ini bukan soal halal-haram secara teknis, karena toh dagingnya akan diekspor. Tapi lebih pada identitas dan kultur. Karena memang, kalau babi masuk, takutnya nanti masyarakat bingung: ini kandang investasi atau ujian iman?

Yang menarik, pemerintah menyatakan tetap membuka ruang bagi siapa saja yang mau investasi di Jepara. Tapi jangan lupa syaratnya: tidak hanya profit, tapi juga penerimaan sosial. Dan dalam konteks Jepara, penerimaan sosial itu artinya jangan bikin kiai garuk-garuk kepala.

Pada akhirnya, ini jadi pelajaran menarik: bahkan investasi puluhan triliun pun tak akan diterima kalau tak sesuai dengan selera kultural daerah. Uang bisa dibawa ke mana saja, tapi nilai-nilai, kata Wiwit, “sudah mengakar puluhan tahun lamanya.”

Selamat datang di Jepara. Di mana PAD bukan hanya soal angka, tapi soal akhlak. Dan babi, sayangnya, belum dapat akreditasi.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS