Negara dan Segala yang Dirampasnya

Oleh: Redaksi |
“Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan padamu, tapi tanyakan apa saja yang sudah negara rampas darimu.”  — Ki Ngabehi
Kalimat di atas mampir di layar ponselku suatu pagi, dalam status WhatsApp seorang kawan diskusi yang lebih kukenal sebagai “kakak kedua” dalam lingkaran kecil kami. Kalimat yang begitu sederhana namun mengguncang. Biasanya, ungkapan patriotisme kita dikemas dalam bentuk kalimat klise: “Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada negara.” Namun status WA itu memutar balik narasi, sekaligus menyadarkan bahwa relasi kita dengan negara tidak selamanya setara, apalagi adil.

Lalu aku bertanya-tanya: apa saja sebenarnya yang telah negara rampas dariku? Dan darimu? Dari kita?

Pertama-tama, negara seringkali merampas harapan. Bukan dalam pengertian puitis semata, tapi harapan konkret warga akan hidup yang layak. Setiap kali rakyat berharap pada pendidikan yang merata, negara hadir dengan kurikulum tambal sulam dan sekolah-sekolah yang hancur di pelosok. Setiap kali masyarakat berharap layanan kesehatan, negara memberi BPJS yang antreannya lebih panjang dari umur harapan hidup.

Harapan adalah hak, tapi negara memperlakukan harapan sebagai ilusi yang dibatasi oleh APBN dan skema-skema teknokratis. Seolah rakyat diminta realistis saja, sambil negara tetap membakar miliaran rupiah untuk proyek mercusuar.

Negara merampas ruang, secara harfiah. Pedagang kaki lima disingkirkan demi “ketertiban kota”, rumah-rumah digusur demi jalan tol, dan warga adat diusir dari tanahnya sendiri atas nama investasi. Negara tidak datang sebagai pelindung, tapi sebagai eksekutor dengan alat berat dan surat keputusan.

Negara merampas hak atas tanah, ruang hidup, dan martabat. Ironisnya, itu semua dilakukan atas nama pembangunan, yang entah dibangun untuk siapa.

Kalau negara memang “tidak berutang apa-apa padamu”, kenapa pajak wajib dibayar? Pajak adalah bentuk kepercayaan warga pada negara, bahwa uang itu akan kembali dalam bentuk pelayanan publik. Tapi berapa banyak di antara kita yang benar-benar merasakan itu?

Ketika rakyat bayar pajak, lalu dana itu diselewengkan, itu bukan lagi pungutan, itu perampokan.

Tak kalah penting, negara juga sering merampas identitas dan otonomi berpikir. Lewat kurikulum pendidikan, lewat sensor dan kriminalisasi ekspresi, negara menata keseragaman yang membunuh keberagaman. Anak-anak diajarkan untuk mencintai negara tanpa pernah diberi ruang untuk mengkritisinya. Kita dibentuk untuk manut, bukan untuk peka.

Opini ini tidak untuk mendorong anarki, tapi untuk mengingatkan: negara bukan entitas suci. Negara adalah kontrak sosial yang bisa dan harus dikritisi. Negara bukan orang tua yang tak boleh disalahkan. Negara adalah organisasi, dengan kekuasaan yang bisa menindas, dan karenanya perlu diawasi.

Maka, barangkali pertanyaannya bukan lagi “apa yang negara rampas darimu”, tapi: apa yang bisa kamu perjuangkan agar perampasan itu tak terus terjadi?
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS