Madilog: Panduan Berpikir Anti-Ngibul dari Tan Malaka

Oleh: Redaksi |
Madilog

Jika ada buku yang bisa bikin kita merasa jadi filsuf mendadak sekaligus pahlawan rakyat dalam satu bacaan, Madilog karya Tan Malaka adalah jawabannya. Ini bukan buku filsafat biasa yang bikin kepala mendidih karena jargon njlimet, tapi semacam “tutorial berpikir” yang dikemas dalam gaya bertutur khas seorang revolusioner. Bisa dibilang, Madilog adalah racikan kopi robusta yang pahit tapi bikin melek, ditambah sedikit gula biar nggak terlalu keras.

Buku ini ditulis oleh Tan Malaka saat dalam pelarian – bukan pelarian dari mantan, tapi dari kolonialisme yang waktu itu masih menganggapnya sebagai ancaman intelektual. Dalam kondisi yang nggak ideal, ia tetap berhasil meramu pemikiran kritis yang, kalau kita baca sekarang, masih relevan banget buat generasi yang doyan mempertanyakan segalanya: dari politik sampai kenapa Indomie lebih enak kalau dimasak tengah malam.

Madilog: Dari Mistisisme ke Logika, Kok Rasanya Kayak Upgrade Software?

Judul Madilog sendiri adalah akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dalam bahasa simpel, ini semacam “upgrade” cara berpikir dari pola lama yang serba mistis ke pola baru yang berbasis logika dan realitas material. Tan Malaka percaya bahwa bangsa Indonesia saat itu terlalu banyak bergantung pada cara berpikir mistis, alias percaya hal-hal tanpa dasar rasional.

Misal, kalau ada orang jatuh sakit, alih-alih cari tahu penyebab medisnya, orang zaman dulu lebih cenderung mikir, “Ah, pasti kena santet!” Nah, Tan Malaka datang sebagai orang yang bilang, “Bro, cek dulu gejalanya. Mungkin kena demam berdarah, bukan kena ilmu hitam.”

Menurutnya, pola pikir yang berbasis mistisisme inilah yang bikin bangsa sulit berkembang. Ibarat smartphone yang masih pakai sistem operasi jadul, kita perlu upgrade ke Madilog OS, biar bisa menghadapi realitas dunia dengan akal sehat.

Materialisme, Dialektika, dan Logika: Bukan Sekadar Teori, tapi Survival Kit

Ketiga konsep dalam Madilog bisa dibilang adalah “senjata” berpikir.
  • Materialisme: Realitas itu berbasis materi, bukan ditentukan oleh hal-hal gaib atau tak kasat mata. Bahasa gampangnya, kalau dompet kita kosong, itu bukan karena “sial” atau “kutukan,” tapi karena emang gaji belum cair atau pengeluaran kebanyakan.
  • Dialektika: Segala sesuatu selalu berubah karena adanya kontradiksi. Kayak tren musik yang dulu didominasi boyband, sekarang lebih ke arah lo-fi dan synthwave. Perubahan selalu terjadi karena adanya dorongan dari dua sisi yang bertentangan.
  • Logika: Ini yang bikin pemikiran kita nggak asal ngegas. Bukan cuma sekadar percaya sesuatu karena katanya atau karena viral di TikTok, tapi benar-benar dianalisis dengan akal sehat dan data yang jelas.
Kalau ketiga hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, kita jadi lebih peka terhadap realitas dan nggak gampang dikibulin. Misalnya, kalau ada politisi yang tiba-tiba bagi-bagi sembako sebelum pemilu, kita nggak langsung terharu, tapi berpikir: “Hmm… ini strategi politik atau memang dia mendadak jadi dermawan?”

Madilog untuk Generasi Milenial dan Zenial: Kenapa Kita Harus Peduli?

Di era yang penuh informasi seperti sekarang, kita dibombardir oleh berita hoaks, teori konspirasi, dan tren-tren absurd yang kadang bikin kita geleng-geleng kepala. Tan Malaka, kalau masih hidup, mungkin bakal bikin podcast yang menjelaskan bagaimana caranya memilah informasi dan berpikir kritis di tengah tsunami digital ini.

Buat generasi yang suka mempertanyakan segala hal, kenapa harga kopi mahal, kenapa algoritma media sosial suka nge-prank kita, kenapa politik selalu ribet, Madilog bisa jadi pegangan. Ini bukan buku yang harus dibaca dalam sekali duduk (kecuali kalau kalian memang suka tantangan), tapi bisa dinikmati pelan-pelan seperti kopi pahit yang bikin otak lebih tajam.

Kalau kita benar-benar menerapkan Madilog, kita bukan cuma jadi manusia yang lebih kritis, tapi juga lebih sulit dimanipulasi oleh sistem yang suka mempermainkan ketidaktahuan. Dan siapa tahu, kalau Tan Malaka masih ada, dia bakal senyum sambil bilang, “Akhirnya, generasi baru mulai paham!”

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS