Sebuah Kontemplasi tentang Sisa Anggaran dan Sisa Niat

Oleh: Redaksi |
Sebuah Kontemplasi tentang Sisa Anggaran dan Sisa Niat
OPINI— Ada satu jenis harta karun yang sering luput dari pembicaraan warung kopi, tapi sangat akrab di meja rapat dan lembar Laporan Pertanggungjawaban: sisa lebih pembiayaan anggaran, atau yang lebih akrab disapa, dengan manis dan absurd, yap, Silpa.

Silpa ini lucu. Ia hadir bukan karena kita tak punya uang, tapi justru karena kita tak tahu bagaimana (atau tidak mau?) menggunakannya. Seolah-olah kita belanja ke pasar bawa sepuluh kantong plastik, tapi pulang hanya dengan dua bungkus tahu bulat, sementara delapan kantong sisanya kita pamerkan ke tetangga sebagai bukti keberhasilan manajemen rumah tangga.

Masyarakat, tentu, tak akan ribut soal angka. Mereka tak peduli apakah lebihnya miliaran atau sekadar recehan. Tapi mereka tahu betul ketika jalanan tetap berlubang, puskesmas kekurangan nakes, dan anak-anak masih harus berebut sinyal di bukit untuk sekolah daring. Dalam bahasa sederhana: mereka tak hidup dari grafik dan persen-persen, tapi dari apakah hidup mereka sedikit lebih nyaman dari kemarin.

Silpa, sejatinya, bukan sekadar sisa uang. Ia adalah sisa niat, sisa keberanian, dan barangkali, sisa imajinasi. Ia adalah angka-angka yang seharusnya menjelma taman, buku, lampu jalan, pelatihan kerja, atau air bersih. Tapi karena satu dan lain hal, yang seringkali tak jelas sebabnya, ia justru mengendap di sudut ruang bernama “nanti saja.”

Kita bisa maklum bila uang tersisa karena bencana, atau karena satu proyek gagal tender. Tapi ketika Silpa menjadi semacam kebiasaan struktural, setiap tahun, setiap periode, setiap ganti bupati, ganti kepala dinas, maka mungkin yang perlu di-review bukan sekadar anggaran, tapi niat mengabdi itu sendiri.

Kadang, kita memang terlalu sibuk membuat rencana besar. Lima tahunan. Sepuluh tahunan. Tapi lupa, uang yang tidak dipakai tahun ini adalah janji yang tidak ditepati. Dan janji yang tidak ditepati, dalam agama manapun, adalah beban moral. Dalam politik, itu dosa struktural. Dan dalam kehidupan sehari-hari, itu adalah sebab kenapa orang makin sinis terhadap negara.

Apa jadinya jika sisa-sisa itu dikumpulkan? Bukan hanya dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk harapan yang ditunda: sisa kelas yang tak dibangun, sisa jalan yang tak diaspal, sisa beasiswa yang tak dicairkan, sisa pelatihan yang dibatalkan. Lama-lama, negara ini bisa jadi museum dari hal-hal yang seharusnya bisa jadi, tapi tak jadi-jadi.

Ironisnya, kita akan tetap bangga memamerkan Silpa sebagai “keberhasilan efisiensi”, sambil mengabaikan fakta bahwa rakyat tak pernah meminta efisiensi, mereka hanya ingin efektivitas. Bukan soal uangnya hemat, tapi manfaatnya nyata.

Silpa, dalam makna terdalam, adalah pengingat: bahwa negara ini tidak kekurangan uang. Hanya kadang, ia kekurangan keberanian untuk mempergunakannya dengan benar.

Dan dalam konteks seperti itu, rakyat hanya bisa berharap, semoga tahun depan, yang tersisa bukan lagi anggaran, tapi setidaknya, sedikit rasa hormat kepada akal sehat.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS