Saya sama sekali tidak menafikan kontribusi Pak SBY bagi Pacitan. Museum SBY-ANI, pembangunan infrastruktur, dan rencana hotel bintang empat adalah fakta yang bisa diapresiasi. Namun, apresiasi bukan berarti membungkam ruang untuk bertanya: apakah tepat secara etika dan simbolik bila SBY, yang notabene tokoh politik besar dan mantan presiden, dijadikan figur utama peresmian branding pariwisata resmi daerah?
Pertanyaan ini muncul bukan karena asumsi bahwa SBY mencari keuntungan pribadi, tetapi karena posisi dan simbol politiknya secara objektif berpotensi memunculkan persepsi publik tertentu. Dunia komunikasi politik mengajarkan bahwa simbol, panggung, dan narasi dalam acara publik tidak pernah netral. Meski niatnya tulus, efek politisnya bisa tetap muncul, dan itu sah untuk dibahas secara terbuka.
Kita juga perlu membedakan antara niat pribadi dan dampak publik. Argumen “SBY sudah selesai dengan dirinya” memang bisa berlaku di tingkat personal, tetapi kebijakan dan agenda publik tidak diukur dari niat semata, melainkan dari bagaimana hal itu terbaca oleh publik, termasuk dari pihak yang mungkin tidak punya kedekatan emosional dengan SBY.
Ketika saya menulis dengan nada sarkastis, itu bukan sekadar gaya menghujat, melainkan teknik retorika untuk memancing perhatian pembaca terhadap isu yang sering dianggap sepele. Dalam tradisi jurnalisme opini, sarkasme adalah alat untuk menyoroti ironi dan kontradiksi. Sayangnya, di negeri ini, setiap nada kritis terhadap figur publik seringkali langsung diartikan sebagai serangan personal atau kebencian.
Sebaliknya, sikap yang justru berbahaya bagi demokrasi adalah menganggap semua kritik terhadap figur tertentu sebagai bentuk kebencian. Ini menutup pintu diskusi rasional dan menciptakan “zona suci” yang tidak boleh disentuh kritik, padahal figur publik, apalagi yang pernah memegang jabatan tertinggi di negara, seharusnya paling siap menerima kritik.
Apakah saya benci pada SBY? Tidak. Yang saya persoalkan adalah praktik simbolik yang berpotensi mencampurkan identitas politik dengan agenda publik. Dan ini bukan hanya tentang SBY. Siapapun tokohnya, jika berada di posisi serupa, akan saya soroti dengan cara yang sama.
Justru karena saya ingin Pacitan maju, saya merasa perlu memastikan bahwa kemajuan itu dibangun dengan pondasi yang sehat: partisipatif, inklusif, dan bebas dari persepsi bahwa kemajuan ini “milik” satu nama besar saja. Jika semua hanya berpusat pada satu figur, bagaimana generasi berikutnya bisa merasa memiliki dan meneruskan?
Maka, jika ada yang sedih membaca tulisan saya terkait ini 👉🏻 https://www.ngauris.com/2025/08/ada-apa-di-balik-peran-sby-dalam.html, saya juga sedih jika kritik dan pergumulan ide malah dianggap sebagai bentuk kebencian pribadi. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari tepuk tangan tanpa henti, tetapi dari keberanian untuk bertanya, mempertanyakan, dan memastikan bahwa niat baik juga diiringi dengan cara yang tepat dan adil.
Oleh : Muhamad Tonis Dzikrullah (pengagum SBY)