Ada Apa di Balik Peran SBY dalam Branding Wisata Pacitan?

Oleh: Redaksi |

Ilustrasi

OPINI, — Pemerintah Kabupaten Pacitan tengah bersiap menggelar Ekspedisi Merah Putih (EMP), sebuah kegiatan yang diklaim sebagai ajang pengenalan potensi bahari lokal ke kancah nasional dan global. Namun, sorotan tajam muncul atas Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang rencananya akan meresmikan branding pariwisata baru Pacitan “70 Miles Sea Paradise” dalam gelaran EMP tersebut.

Pertanyaan yang bergema di ruang publik bukan lagi sekadar soal potensi wisata, tetapi, mengapa harus SBY? Apakah tidak ada tokoh netral atau institusi resmi dari sektor pariwisata yang lebih relevan?

EMP disebut sebagai upaya mempromosikan potensi 70 mil garis pantai Pacitan ke level nasional dan internasional. Branding besar digulirkan, bendera Merah Putih dikibarkan di 70 titik pantai, dan Festival Lomba Dayung Rekreasi (FLDR) dihelat. Tapi ketika acara peluncuran diisi oleh SBY, tokoh politik yang secara genealogis, historis, dan emosional sangat lekat dengan tanah kelahirannya, muncul dugaan bahwa ini bukan semata urusan pariwisata, melainkan juga politik simbolik.

SBY memang putra asli Pacitan. Namun, bukankah justru karena kedekatan itulah, ia seharusnya tidak berada di panggung utama peresmian branding? Posisi ini menimbulkan persepsi seolah branding pariwisata Pacitan bukan milik rakyat, tapi milik satu nama besar di masa lalu yang mungkin takut mulai redup.

Jika branding ini ditujukan untuk dunia, mengapa bukan presiden yang saat ini sedang menjabat, atau Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang meresmikan? Atau minimal tokoh-tokoh lintas sektor yang mewakili generasi baru Pacitan?

Hal ini menguatkan kekhawatiran banyak pihak akan kecenderungan politisasi simbol lokal untuk kepentingan elite. “Sea Paradise” bisa menjadi mimpi kolektif masyarakat pesisir, tetapi dengan nama SBY mendominasi, tidak sedikit yang melihat branding ini sebagai upaya mempermanis sejarah politik dinasti yang terus bertumbuh di balik layar kekuasaan lokal.

Wajar kalau kemudian banyak yang bertanya, apakah branding ini benar-benar tentang Pacitan dan rakyatnya? Atau tentang satu nama masa lalu yang ingin kembali membangun panggung dengan layar baru bernama “pariwisata”?

Tanpa transparansi dan inklusivitas dalam penyusunan agenda EMP dan branding, kegiatan ini rawan disalahpahami sebagai festival pencitraan politik, bukan promosi wisata berbasis partisipasi rakyat.

Wajah pariwisata Pacitan seharusnya dirancang bersama rakyat, bukan dikunci dalam simbol-simbol lama yang hanya melanggengkan kultus individu.


Oleh: Muhamad Tonis Dzikrullah (peneliti dan pemerhati tragedi pemerkosaan massal pasca geger 65 di Pacitan)
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS