OPINI, — Setiap menjelang Agustus, ada satu kebiasaan bangsa ini yang tak berubah, kita mendadak menjadi ahli simbolisme. Dari spanduk kusut bertuliskan “Dirgahayu” yang ditempel pakai lakban bekas, sampai polemik filosofis tentang kenapa warna merah di bendera tetangga lebih pudar dari yang lain. Tahun ini, panggung perdebatan agak unik, bendera bajak laut “Jolly Roger” dari anime One Piece muncul di tengah semarak Merah Putih. Dan seperti biasa, para pembela akidah dan kedaulatan pun turun ke gelanggang.
Kami memahami, ini adalah masa ketika semua hal harus tampak nasionalis. Termasuk, misalnya, lomba makan kerupuk di tiang bambu sambil menginjak semut. Tapi benarkah menancapkan bendera bajak laut di motor beat warna pink itu adalah ancaman serius terhadap negara?
Mari kita pakai pendekatan filosofis, agak sedikit waras, dan banyak bercanda. Karena kadang-kadang, hanya dengan tertawa, kita bisa melihat yang serius dari sudut yang lebih jernih.
Pertama-tama, mari kita bicara soal simbol. Kita diberi simbol negara berupa Merah Putih, Garuda Pancasila, dan lagu wajib nasional yang sering fals di baris terakhir. Tapi simbol bukan hanya benda, ia juga tafsir. Sama seperti bendera bajak laut, yang oleh sebagian dianggap lambang pembajakan, oleh sebagian lain justru dilihat sebagai simbol perlawanan, kebebasan, dan solidaritas kru kapal yang saling percaya meski tidak tahu siapa bapaknya Luffy.
Dalam dunia postmodern, kita hidup dalam apa yang disebut Baudrillard sebagai “simulacra”, realitas yang ditutupi oleh lapisan-lapisan simbol dan tanda. Kalau begitu, siapa yang lebih bahaya, anak SMA yang pasang bendera One Piece di halaman rumahnya, atau pemimpin lembaga negara yang korup tapi tetap pakai dasi merah putih di upacara kemerdekaan?
Kita tidak anti dengan fikih siyasah. Tapi bila semua ekspresi publik harus lolos sensor Bahtsul Masail, maka kelak yang boleh eksis tinggal dua, wayang kulit dan marawis. Bahkan marawis pun bisa dibubarkan kalau ternyata rebana-nya bercorak tengkorak.
Apakah anak-anak muda yang menonton One Piece, anime yang justru mengajarkan tentang mimpi, persahabatan, dan perlawanan terhadap tirani, layak dianggap ancaman nasional? Ataukah yang lebih berbahaya justru mereka yang menyebar ketakutan lewat narasi kaku, seolah negeri ini bisa runtuh hanya karena bendera pakai lambang tengkorak?
Boleh jadi, yang perlu diganti bukan benderanya, tapi cara kita memaknai nasionalisme. Nasionalisme bukan soal mengibarkan kain di tiang tertinggi, tapi soal bagaimana memperlakukan rakyat yang paling bawah. Bukan tentang larangan pasang logo bajak laut, tapi tentang larangan menindas dan memiskinkan warga atas nama proyek strategis nasional.
Lagipula, kalau memang khawatir generasi muda tidak menghormati simbol negara, cobalah koreksi bagaimana negara selama ini memperlakukan mereka. Pendidikan mahal, kerja sulit, tanah dijual ke investor. Lalu ketika mereka berekspresi lewat anime, kalian tuduh itu sebagai dekadensi.
Kita ini hidup di zaman ketika negara sering lebih bajak laut daripada bajak laut itu sendiri. Pajak dikorupsi, hutan dijual, rakyat disuruh bangga. Tapi anak muda pasang bendera anime malah dianggap biang perpecahan?
Lantas, bagaimana sikap kita terhadap fenomena ini? Tenang saja. Tak usah lebay. Jangan-jangan mereka yang ribut soal simbol negara malah belum bayar iuran RT. Kita hidup di negeri yang absurd. Nasionalisme diukur dari tiang bendera, bukan dari harga sembako.
Alih-alih menyalahkan simbol anak muda, lebih baik ajak mereka berdialog. Gali makna nasionalisme yang baru, yang tidak hanya berbasis pada teks suci, tapi juga pada pengalaman hidup mereka, tentang kerja, cinta, ketidakadilan, dan harapan.
Karena kalau kita terus menerus memaksa simbol negara dipuja tanpa disertai keadilan negara yang nyata, maka jangan salahkan jika generasi muda lebih memilih jadi bajak laut, daripada jadi rakyat yang terus-terusan dibajak.
Dirgahayu Indonesia. Kalau memang bajak laut dilarang, pastikan bajak anggaran juga diberantas. Kalau tidak, nanti kita benar-benar jadi negara yang kehilangan arah. Bukan karena Jolly Roger, tapi karena terlalu serius menertibkan simbol, dan lupa menertibkan kelakuan.
Oleh : Fosil kampus yang tak kunjung lulus