![]() |
Warga Paguyuban Desa Watangrejo Geruduk Kantor DLHK Jawa Tengah | Foto: Dok LBH Semarang |
Aliansi warga ini membawa poster dengan tulisan yang tidak main-main: Tolak Pabrik Semen, Jagad Ijo Wasis Aji, sampai kalimat filosofis nan menohok, “melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani”, tamparan halus bagi yang lupa bahwa bumi bukan hanya untuk ditambang, tapi juga ditanam dan ditimang.
Massa yang tergabung dalam Paguyuban Tali Jiwo ini berasal dari enam desa: Watangrejo, Suci, Gambirmanis, Joho, Petirsari, dan Sambiroto. Mereka menyerukan kegelisahan soal rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping, yang menurut mereka, bukan cuma bikin rusak tanah, tapi juga bikin rakyat kehilangan tempat berpijak, secara harfiah.
Proses perizinan yang katanya “partisipatif” ternyata lebih mirip acara privat. Transparan seperti kaca film mobil pejabat: dari luar gelap, dari dalam bebas.
“Hari ini DLHK betul menerima kami, kami ucapkan terima kasih, tapi waktu yang diberikan hanya setengah jam, sementara aspek yang harus kita bahas banyak. Kami kecewa, waktunya tidak sampai untuk menyampaikan semua keluhan,” kata Koordinator Paguyuban Tali Jiwa, Suryanto Perment di Kantor DLHK Jateng, Selasa (2/6/2025).Jadi, warga dateng jauh-jauh, bawa aspirasi, tapi yang dikasih waktu setengah jam. Itu pun kayak seminar kilat. Untung nggak disuruh isi absensi dan pulang bawa snack.
Suryanto menjelaskan, dua perusahaan masing-masing membawa rencana besar: PT AAA ingin bangun pabrik semen dengan kapasitas 4,5 juta ton per tahun, sedangkan PT SSS mau menambang batu gamping sebanyak 4,2 juta ton per tahun. Total lahan terdampak? Sekadar 309 hektare. Gampang ya, bilang “hektare” doang, padahal itu artinya rumah-rumah, sawah, ladang, dan kehidupan banyak orang.
“Warga yang langsung terdampak dan masuk dalam guyub itu ada 6 dusun, sementara yang berada dekat dengan guyub ada 3 dusun dari 6 desa. Ribuan KK-nya,” ungka Suryanto.Tanah yang akan dijadikan lokasi proyek ini bukan tanah Perhutani, bukan juga tanah kosong tak bertuan. Tapi milik warga, yang selama ini digunakan buat bertani. Jadi jangan bayangkan itu tanah nganggur yang minta dibor. Ini tanah hidup, bukan papan proyek.
“Kegelisahan kami adalah kehilangan lahan, kehilangan mata pencaharian, penghidupan para petani. Karena memang mayoritas yang hidup di sana dari pertanian itu sendiri,” tegas Suryanto.Yang bikin ngeri, ini bukan cuma soal hilangnya ladang, tapi juga rusaknya ekosistem kawasan karst Gunungsewu. Kalau semangat tambangnya lebih kencang dari semangat lindungi lingkungan, bersiaplah menyaksikan mata air berubah jadi mata kering.
“Selain menjadi ancaman penghancuran kehidupan kami, tanah yang akan dirampas ini termasuk jajaran Kawasan Karst Gunungsewu. Berarti akan merusak kelangsungan kehidupan hewan, tumbuhan, sumber mata air, dan ekosistem kawasan karst Gunungsewu,” lanjut Suryanto.Dalam pertemuan dengan DLHK, warga merasa belum sempat buka semua kartu. Topik penting seperti biodiversitas, aspek hukum, sampai bedah amdal masih ngambang. Sayang, padahal niatnya sudah datang dengan kepala dingin, bukan pakai emosi.
“Banyak yang belum tersampaikan, masalah biodivercity itu belum lengkap, masalah hukum tidak disampaikan, dan bedah amdalnya tidak disampaikan semua,” imbuh Suryanto.Kini warga dari enam desa itu kompak menolak. Mereka tidak datang untuk debat kusir atau nonton presentasi proyek, tapi menuntut pencabutan izin Amdal dan pembatalan izin kelayakan lingkungan. Karena ya, buat apa debat kalau semua keputusan sudah kayak jalan tol, lurus saja ke arah pabrik?
“Buat apa kita berdebat (dengan perusahaan) kalau perizinan yang di atas tetap berjalan. Kalau kita dipertemukan hanya untuk menambah debat kusir yang jelas, kalau memang regulasinya tidak berubah,” tutup Suryanto.