Tutorial Menang Debat Tanpa Logika: Panduan untuk Calon Pejabat

Oleh: Redaksi |
Mari kita jujur sejak paragraf pertama: logika adalah barang mahal, dan tidak semua orang mau membelinya. Dalam banyak perdebatan publik hari ini, logika kerap dianggap penghambat. Terlalu lambat, terlalu kaku, dan tidak cukup “menjual”.

Dalam dunia yang semakin gaduh, siapa yang sempat repot berdebat panjang? Apalagi kalau lawan diskusi terlalu keras kepala, terlalu membaca buku, atau, yang lebih parah, terlalu masuk akal. Maka di sinilah kita butuh teknik: cara membunuh diskusi dengan elegan, tanpa perlu berkeringat, tanpa perlu memahami isi argumen lawan,

Bagi Anda yang bercita-cita menjadi pejabat, tetapi tidak ingin terjebak dalam beban logika, berikut panduan resmi yang telah terbukti ampuh: menang debat tanpa perlu berpikir terlalu keras. Catat baik-baik.

1. Gunakan Jurus Ad Hominem: Serang Orangnya, Abaikan Argumennya

Kalau lawan bicara mengkritik kebijakan Anda, jangan repot-repot jawab isi kritiknya. Cukup balas, “Kamu siapa? Anak kemarin sore udah sok ngerti negara!”

Intinya, Jika lawan diskusi mulai melontarkan argumen yang sulit dibantah, segera belokkan ke hal personal. Serangan personal ini akan langsung menggiring perhatian publik dari substansi ke identitas. Bonus efeknya: lawan Anda akan terlihat defensif, dan Anda tampak berwibawa (minimal di hadapan fans Anda). 

Ingat, menyerang isi pikirannya itu berat. Menyerang identitasnya lebih praktis dan cepat mengakhiri percakapan.

2. Gunakan Gelar dan Status Sebagai Tameng

Ketika argumen mulai rapuh, bentengi diri dengan status sosial. 
“Saya ini sudah belasan tahun di lapangan, kamu jangan sok tahu dari buku.”
Atau, versi lainnya: 
“Kamu belum ngalamin sendiri, makanya jangan banyak teori.”
Diskusi bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang lebih punya “pengalaman”. Tak penting apakah pengalaman itu relevan atau tidak.

3. Alihkan Perhatian Secara Elegan

Jika ada pertanyaan sulit, jangan dijawab langsung. Lempar ke topik lain yang dramatis dan emosional. Misalnya: 
Wartawan: “Bagaimana tanggapan Anda soal dugaan korupsi proyek X?”

Anda: “Yang penting sekarang adalah bagaimana kita menjaga moral anak bangsa di tengah gempuran budaya asing.”
Publik akan sibuk debat soal budaya asing, sementara isu korupsi pelan-pelan menguap seperti air teh basi yang terlupa di meja.

3. Strawman: Buat Versi Karikatur dari Lawan Anda

Lawan Anda bilang, “Kita perlu mengkaji ulang anggaran militer.”

Anda jawab: “Wah, kalau semua orang seperti Anda, negara ini sudah lama dijajah!”
Padahal tidak ada yang bilang “hapus militer”, tapi Anda menggambarkan argumen itu secara berlebihan agar mudah dijatuhkan. Ini seperti mengganti ayam hidup dengan ayam karet, lalu bangga karena berhasil memukulnya jatuh.


4. Lemparkan Istilah Asing yang Membingungkan

Jika kamu mulai kalah arah, taburkan jargon! 
Misalnya: “Apa yang kamu sebut itu sebenarnya pseudo-dialectical reductionism dari narasi hegemonik pascakolonial.”
Lawannya akan bingung. Penonton akan kagum. Kamu tidak perlu menjelaskan, karena tidak ada yang tahu juga maksudnya.

5. Gunakan Volume dan Gestur, Bukan Bukti dan Data

Kebenaran sering kalah oleh keberanian menyuarakan suara. Maka, kalau argumen Anda lemah, naikkan nada bicara. Tambah gerakan tangan, tunjuk-tunjuk layar, dan jangan lupa, selipkan kata-kata seperti “rakyat”, “negara”, dan “anak bangsa”.

Penonton akan berpikir Anda serius, bahkan ketika Anda sebenarnya hanya mengulang omong kosong yang dikemas meyakinkan.

6. Klaim Paling Pro-Rakyat, Meski Isinya Nggak Jelas

Tak perlu detail kebijakan. Cukup bilang: “Kebijakan kami jelas: berpihak pada rakyat kecil!”

Rakyat kecil mana, dalam hal apa, dan caranya bagaimana? Tidak penting. Yang penting adalah kesan membela, bukan substansi pembelaan.

Jika perlu, tambahkan bumbu kisah fiktif: “Kemarin saya ketemu ibu-ibu penjual gorengan yang bilang ‘Pak, terima kasih karena harga cabai sekarang stabil.’ Saya tersentuh sekali.”

Padahal Anda sendiri makan catering hotel tiga kali sehari. Tapi siapa yang peduli? Cerita menyentuh hati jauh lebih ampuh dari spreadsheet anggaran.

7. Akhiri dengan Kata-kata Sakti

Ketika semua sudah buntu dan logika Anda tak bisa menolong, keluarkan mantera pamungkas: 
“Ini semua demi kedaulatan bangsa.”

“Kami sudah bekerja keras, tinggal masyarakat yang harus ikut mendukung.”

“Jangan terlalu banyak kritik, jadilah bagian dari solusi.”

 

Catatan Akhir: Ini Satire, Jangan Ditiru!

Tulisan ini tentu saja tidak sungguh-sungguh menganjurkan cara-cara di atas. Justru sebaliknya: ini pengingat bahwa logika, etika, dan niat baik masih penting dalam ruang publik kita. Karena demokrasi tanpa diskusi yang masuk akal hanyalah parade ego tanpa arah.

Kalau pejabat benar-benar butuh tutorial, seharusnya yang mereka cari adalah: bagaimana memahami masalah secara jernih, mendengarkan dengan rendah hati, dan menjawab dengan akal sehat. Tapi ya, itu memang jauh lebih sulit daripada sekadar membentak atau mengalihkan isu.

Jadi kalau kamu, pembaca budiman, suatu hari jadi pejabat, jangan ikuti tutorial ini. Kecuali kamu bercita-cita jadi bahan lelucon generasi berikutnya.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS