Pendidikan Dalam Pusaran Kekerasan

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi

“Saat pendidikan tidak memerdekakan, maka cita-cita kaum tertindas adalah menjadi kaum penindas”, sebuah kutipan populer dari Paulo Freire tentang pendidikan, sekian lama saya berusaha memikirkan dalam konteks apa kutipan tersebut dapat dipahami. Namun apa yang terjadi di berbagai daerah Indonesia pada hari-hari belakangan ini membuat mata kita semua melihat bagaimana dinamika sosial politik negara bangsa Indonesia bergerak menunjukkan itu semua.

Bergeraknya berbagai elemen masyarakat yang selama ini merasa menjadi korban represi dari pihak-pihak yang berkuasa untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut tanggung jawab atas berbagai pernyataan dan persoalan yang dimunculkan pejabat publik yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat. Mulai dari kenaikan besaran pajak hingga keluarnya berbagai pernyataan dan sikap pejabat-pejabat publik yang dinilai menciderai dan tidak sensitif terhadap penderitaan masyarakat.

Akumulasi dari berbagai persoalan tersebut pada akhirnya meledak menjadi berbagai unjuk rasa yang dengan mudah segera menjadi huru-hara yang bahkan meminta korban jiwa di beberapa daerah, eskalasi demonstrasi meningkat pesat menjadi huru-hara setelah ditambah dengan tewasnya seorang pengemudi ojek online setelah ditabrak kendaraan taktis aparat.

Kita bisa melihat bagaimana massa yang sebelumnya bergerak untuk menyuarakan aspirasi kemudian secara perlahan bertindak merusak dan menjarah berbagai fasilitas umum hingga aset-aset privat yang dimiliki sejumlah pejabat yang sebelumnya dianggap telah mengeluarkan berbagai pernyataan dan tindakan yang menciderai perasaan masyarakat yang sebelumnya sudah banyak terbebani oleh berbagai kebijakan yang notabene juga mereka putuskan sebagai legislatif.

Pada awalnya fenomena ini tampak di permukaan hanya sekedar merupakan luapan emosi dan pembalasan dendam atas apa yang selama ini dialami oleh masyarakat dan kemudian dilampiaskan kepada para pelaku penindasnya, namun jauh di dalamnya kita bisa menelisik dan menemukan konteks dari pernyataan Paulo Freire di atas bagaimana pihak-pihak yang tertindas justru kemudian bersalin rupa menjadi penindas ketika memiliki kesempatan, benarkah ini berawal dari pendidikan yang tidak memerdekakan? tidak cukupkah praktik pendidikan melalui berbagai kurikulumnya (bahkan kurikulumya yang terbaru disebut kurikulum merdeka) menjadi sebuah jalan yang memerdekakan?

Berdasarkan kenyataan bahwa wajib belajar dua belas tahun yang sudah berlaku sekian lama di Indonesia tentunya bisa diasumsikan bahwa mereka yang terlibat tentu bisa dikatakan sebagian besar mengenyam pendidikan. Tentu saja pendidikan di sini tidak hanya dari sisi pendidikan formal saja namun dipandang dari sudut yang lebih luas termasuk bagaimana posisi dan pola perilaku kekuasaan dalam “mendidik” rakyatnya.

Pendidikan yang sepertinya (mengutip tulisan Rieke Diah Pitaloka) “tidak mampu menjadikan individu tidak lagi mampu berpikir kritis dan mengambil jarak terhadap keyakinan diri dan ilusi-ilusinya” sehingga menjadikan individu massa (meminjam sebuah istilah dari Hannah Arendt) menjadi mudah untuk diprovokasi dan dimobilisir untuk bergerak sesuai dengan keinginan pengendalinya karena tiadanya empati dan perasaan bersalah, ditambah lagi euforia massa menjadikan huru-hara menjadi niscaya.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat’, Rieke Diah Pitaloka menjelaskan bahwa kekerasan oleh warga negara sesungguhnya terkait erat dengan kekuasaan, masyarakat “dibungkam” oleh penguasa yang tidak menginginkan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang mereka buat (2004: xiv), betapa pernyataan yang ditulis hampir dua puluh tahun yang lampau tersebut menemukan konteksnya pada kenyataan hari ini.

Keterkaitan kontribusi pendidikan di sekolah dengan fenomena hari ini.

Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan yang masih dipercaya sebagai garda terdepan untuk mencetak generasi bangsa yang berkualitas kemudian wajib mengintrospeksi diri, jangan-jangan justru dari sitem pendidikan yang selama ini dijalankanlah siklus reproduksi kekerasan bermuasal. Posisi atasan-bawahan, guru-siswa yang cenderung diposisikan hirarkis atas-bawah baik secara simbolik dan fisiknya patut kita tengok keberadaannya karena dari sini sangat berpeluang muncul praktik-praktik kekerasan baik yang fisik maupun yang simbolik karena dalam hubungan hirarkis semacam inilah rentan terjadi subordinasi melalui interaksi antar modal-modal simbolik. Pola komunikasi yang terjadi cenderung bersifat instruksional yang mengesampingkan diskusi dua arah.

Dalam kondisi semacam ini, kurikulum yang cenderung dipahami sebagai seperangkat petunjuk teknis hanya akan menghasilkan pemikiran-pemikiran tekstual namun gagap ketika menemui dinamika di lapangan. Kekerasan simbolik yang kemudian terjadi secara laten dan tidak disadari melalui mekanisme-mekanismenya seperti bahasa, representasi, nilai, dan “pemaksaan” sudut pandang pihak dominan terakumulasi sedikit-demi sedikit dan berpotensi meletup ketika mendapatkan kesempatan dan kanal penyaluran. Pola pendidikan semacam ini melalui pandangan pendidikan progresif peserta didik dinilai tidak memiliki referensi terhadap realitas, karena pendidikan hanya berlangsung dalam situasi-situasi ideal yang terlepas dari kenyataan.

Berikut akan saya tambahkan kutipan dari Paulo Freire yang sekiranya sesuai dengan konteks di atas: “bagi pendidik progresif yang koheren , pengajaran selalu diasosiasikan dengan pembacaan kritis terhadap realitas,” (Freire, 2003:14).

Dengan demikian jelas bahwa pembelajaran kemudian tidak bisa diberikan dalam ruang netral yang terlepas dari konflik-konflik sosial. Maka, apapun kurikulum yang dipergunakan, tanpa praktik pembacaan kritis terhadap realitas semacam itu, dunia pendidikan tidak lagi menjadi ladang persemaian gagasan dan dialektika wacana pengetahuan yang sehat, namun sekedar orkestrasi penyeragaman instruksional melalui sejumlah petunjuk teknis yang bersifat top-down yang tidak mengakomodir diskusi kritis dan komunikasi dua arah yang sehat, hasilnya adalah output yang terpisah dengan realitas masyarakat itu sendiri.

Sampai di sini kiranya bisa kita pahami bahwa ternyata pendidikan yang selama ini berjalan bisa dikatakan tidak mampu benar-benar berkontribusi merubah pola perilaku individu massa seperti yang dikemukakan Hannah Arendt di atas. 

Menengok sejenak kurikulum yang berlaku saat ini, yakni kurikulum merdeka beserta segenap kelebihan dan kekurangannya (ditambah dengan wacana pendekatan deep learning), sebenarnya secara garis besar sudah berupaya mengarah kepada pendidikan yang memerdekakan tersebut yang ditandai dengan upayanya untuk mewadahi perkembangan peserta didik sesuai dengan kodrat, minat dan potensinya, namun sekali lagi betapapun canggihnya sebuah kurikulum di atas kertas tanpa pembacaan kritis terhadap realitas yang dipraktikkan secara riil, dalam aplikasinya hanya akan menghasilkan formalitas belaka.

Dalam konteks hari ini kira-kira seberapa jauh fenomena amuk massa yang terjadi kemudian mampu menjadi topik diskusi yang hangat di dalam kelas sehingga peserta didik mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat hari ini? Hal ini penting kiranya terkait dengan mobilisasi terhadap sejumlah pelajar di berbagai daerah untuk terlibat dalam demonstrasi yang sangat berpotensi untuk rusuh tersebut, pemahaman yang obyektif akan jauh lebih efektif daripada himbauan dan larangan dengan berbagai alasan yang lebih bersifat hitam-putih belaka.

Tulisan ini mungkin terlalu menyederhanakan fakta yang terjadi, namun paling tidak dari sudut pandang ini kita bisa sedikit merefleksi peranan pendidikan dalam dinamika sosial masyarakat pada hari ini. Semoga carut-marut bangsa ini segera berakhir.

Sumber Bacaan:
• Rieke Diah Pitaloka (2004). Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press.
• Paulo Freire(2003). Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS.

Penulis: Dhidhik Danardhono
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS