![]() |
Bukan ilustrasi Ibrahim dan Kak Seto |
Kita tahu, dua tokoh ini berasal dari ruang dan waktu yang sangat berbeda. Kak Seto adalah simbol perlindungan dan pengasuhan anak di Indonesia, sedang Ibrahim adalah ikon pengorbanan dan kepatuhan dalam agama-agama samawi. Tapi, bagaimana jika mereka bertemu?
Kak Seto (dengan suara lembut khasnya):
“Jadi, Bapak ingin menyembelih anak Bapak sendiri?”
Ibrahim (tenang, filosofis):
“Ya. Ini perintah Tuhan.”
Kak Seto:
“Bapak tahu kan bahwa menurut Undang-undang Perlindungan Anak, kekerasan terhadap anak, termasuk yang bersifat simbolis, bisa berakibat pidana?”
Ibrahim:
“Tapi ini bukan soal pidana. Ini soal iman.”
Di sini, kita melihat pertemuan dua paradigma: iman versus hak anak, otoritas teologis versus perlindungan psikologis.
Dari sisi teologi, peristiwa penyembelihan Ismail adalah simbol tertinggi dari kepasrahan manusia kepada Tuhan. Tapi dari sisi psikologi perkembangan anak, bahkan simulasi kekerasan bisa meninggalkan trauma antar generasi.
Menurut Erik Erikson, anak usia remaja (yang diyakini menjadi usia Ismail dalam beberapa tafsir) sedang mengalami fase “identity vs. role confusion.” Bayangkan dampaknya ketika sang ayah berkata, “Nak, ikut ayah ke gunung. Ayah mau sembelih kamu karena Tuhan menyuruh.”
Trauma? Jelas. Tapi tunggu dulu.
Dalam psikologi modern, kita mengenal istilah obedience to authority yang populer lewat eksperimen Stanley Milgram. Dalam eksperimen tersebut, orang biasa rela memberikan “sengatan listrik” kepada sesama manusia karena diperintah oleh otoritas ilmiah.
Nah, kisah Ibrahim-Ismail bisa jadi representasi klasik dari kepatuhan pada otoritas absolut, dalam hal ini, Tuhan. Tapi yang mengejutkan adalah: Ismail pun pasrah. “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan.” (QS Ash-Shaffat: 102)
Dari perspektif Kak Seto, mungkin ini red flag. Anak kok malah ikut-ikutan bunuh diri atas nama Tuhan? Di mana letak child agency? Di mana suara anak?
Namun dari perspektif filsafat eksistensial, terutama Kierkegaard dalam Fear and Trembling, kepasrahan Ibrahim bukan irasional, melainkan bentuk tertinggi dari “iman absurd.” Keyakinan bahwa dengan kehilangan, ia justru akan mendapatkan kembali.
Tapi Kak Seto tetap bergeming.
Saat tensi memuncak, mari kita rehat sejenak. Karena seperti yang diajarkan oleh para sufi: tertawa juga adalah bentuk spiritualitas.
Jika dialog ini berlanjut dalam dunia nyata, mungkin Kak Seto akan mengundang Ibrahim menjadi pembicara seminar parenting dengan tema“Dari Pisau ke Pelukan: Evolusi Spiritual Pengasuhan Anak”
Ibrahim membuka sesi dengan ayat. Kak Seto menambahkan dengan hasil riset Universitas Indonesia. Mereka bersepakat: Tuhan tidak menyukai kekerasan, meski atas nama agama. Pengorbanan tidak harus fisik, bisa berupa ego, waktu, atau kesabaran. Anak adalah amanah, bukan proyek spiritual semata. Lalu, mereka menandatangani MoU: “Deklarasi Gunung Arafah untuk Perlindungan Anak.”
Tulisan ini tentu fiktif. Tapi seperti semua fiksi, ia menyimpan benih kebenaran.
Kisah Ibrahim dan Ismail seringkali digunakan sebagai dalih untuk menjustifikasi kekerasan simbolik dalam pendidikan dan parenting: “Anak harus taat!” “Orangtua tahu yang terbaik!”
Namun zaman berubah. Tuhan sendiri, dalam kisah itu, akhirnya membatalkan pengorbanan. Bukankah itu pesan bahwa iman yang matang adalah iman yang tumbuh bersama kasih sayang dan akal sehat?
Mungkin Kak Seto dan Ibrahim tidak pernah benar-benar bertemu, tapi dalam ruang imajinasi ini, mereka saling memahami. Dan dari sanalah kita belajar: bahwa yang suci tak harus menyakitkan, dan yang mendidik tak harus menakutkan.
Dari sisi teologi, peristiwa penyembelihan Ismail adalah simbol tertinggi dari kepasrahan manusia kepada Tuhan. Tapi dari sisi psikologi perkembangan anak, bahkan simulasi kekerasan bisa meninggalkan trauma antar generasi.
Menurut Erik Erikson, anak usia remaja (yang diyakini menjadi usia Ismail dalam beberapa tafsir) sedang mengalami fase “identity vs. role confusion.” Bayangkan dampaknya ketika sang ayah berkata, “Nak, ikut ayah ke gunung. Ayah mau sembelih kamu karena Tuhan menyuruh.”
Trauma? Jelas. Tapi tunggu dulu.
Dalam psikologi modern, kita mengenal istilah obedience to authority yang populer lewat eksperimen Stanley Milgram. Dalam eksperimen tersebut, orang biasa rela memberikan “sengatan listrik” kepada sesama manusia karena diperintah oleh otoritas ilmiah.
Nah, kisah Ibrahim-Ismail bisa jadi representasi klasik dari kepatuhan pada otoritas absolut, dalam hal ini, Tuhan. Tapi yang mengejutkan adalah: Ismail pun pasrah. “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan.” (QS Ash-Shaffat: 102)
Dari perspektif Kak Seto, mungkin ini red flag. Anak kok malah ikut-ikutan bunuh diri atas nama Tuhan? Di mana letak child agency? Di mana suara anak?
Namun dari perspektif filsafat eksistensial, terutama Kierkegaard dalam Fear and Trembling, kepasrahan Ibrahim bukan irasional, melainkan bentuk tertinggi dari “iman absurd.” Keyakinan bahwa dengan kehilangan, ia justru akan mendapatkan kembali.
Tapi Kak Seto tetap bergeming.
Kak Seto:Ketegangan semakin meningkat. Tapi jangan panik. Si Komo datang membawa jus jeruk.
“Pak, Tuhan tidak perlu pembuktian dari kekerasan. Anak-anak butuh cinta, bukan kurban.”
Ibrahim:
“Tapi cinta kepada Tuhanlah yang melampaui semua cinta.”
Saat tensi memuncak, mari kita rehat sejenak. Karena seperti yang diajarkan oleh para sufi: tertawa juga adalah bentuk spiritualitas.
Kak Seto berkata:Ibrahim tersenyum. Bahkan ia pun tahu bahwa menyembelih anak bukanlah praktik yang bisa diulang. Karena memang, akhirnya, Tuhan menggantinya dengan domba. Bukan hanya sebagai bentuk pengganti, tapi juga sinyal simbolik: bahwa Tuhan tidak ingin darah, tapi niat. Tidak ingin trauma, tapi ketulusan.
“Pak Ibrahim, kalau zaman sekarang, Bapak bisa loh ikut acara ‘Indonesia’s Next Top Prophet’. Tapi tolong, challenge-nya jangan menyembelih anak ya. Coba saja tantangan parenting 30 hari tanpa gadget!”
Jika dialog ini berlanjut dalam dunia nyata, mungkin Kak Seto akan mengundang Ibrahim menjadi pembicara seminar parenting dengan tema“Dari Pisau ke Pelukan: Evolusi Spiritual Pengasuhan Anak”
Ibrahim membuka sesi dengan ayat. Kak Seto menambahkan dengan hasil riset Universitas Indonesia. Mereka bersepakat: Tuhan tidak menyukai kekerasan, meski atas nama agama. Pengorbanan tidak harus fisik, bisa berupa ego, waktu, atau kesabaran. Anak adalah amanah, bukan proyek spiritual semata. Lalu, mereka menandatangani MoU: “Deklarasi Gunung Arafah untuk Perlindungan Anak.”
Tulisan ini tentu fiktif. Tapi seperti semua fiksi, ia menyimpan benih kebenaran.
Kisah Ibrahim dan Ismail seringkali digunakan sebagai dalih untuk menjustifikasi kekerasan simbolik dalam pendidikan dan parenting: “Anak harus taat!” “Orangtua tahu yang terbaik!”
Namun zaman berubah. Tuhan sendiri, dalam kisah itu, akhirnya membatalkan pengorbanan. Bukankah itu pesan bahwa iman yang matang adalah iman yang tumbuh bersama kasih sayang dan akal sehat?
Mungkin Kak Seto dan Ibrahim tidak pernah benar-benar bertemu, tapi dalam ruang imajinasi ini, mereka saling memahami. Dan dari sanalah kita belajar: bahwa yang suci tak harus menyakitkan, dan yang mendidik tak harus menakutkan.