![]() |
https://www.123rf.com/photo_48857970_mating-a-monkey-in-khao-yai-national-park-thailand.html |
Di tengah derasnya amarah publik saat kasus kekerasan seksual mencuat, satu kalimat sering muncul seperti reflek: “Dasar binatang!” Kalimat ini biasanya tidak ditujukan pada hewan peliharaan, tentu saja, tapi pada manusia, yang dianggap bertindak di luar batas nalar dan moral. Lucunya, kita menyamakan perilaku paling keji manusia dengan makhluk hidup yang, secara biologis, justru melakukan seks secara lebih jujur dan mungkin, terhormat.
Jika kita mau sedikit bersabar membuka buku biologi atau sekadar menonton dokumenter alam, kita akan menemukan kenyataan yang menampar: binatang melakukan seks hanya untuk kebutuhan reproduksi, tidak lebih. Tidak ada unsur kekuasaan, manipulasi, atau balas dendam. Mereka tidak pernah memperkosa. Dan mereka tidak menulis opini seperti ini untuk membela diri. Lalu pertanyaannya: siapa yang sebenarnya binatang di sini?
Jika kita mau sedikit bersabar membuka buku biologi atau sekadar menonton dokumenter alam, kita akan menemukan kenyataan yang menampar: binatang melakukan seks hanya untuk kebutuhan reproduksi, tidak lebih. Tidak ada unsur kekuasaan, manipulasi, atau balas dendam. Mereka tidak pernah memperkosa. Dan mereka tidak menulis opini seperti ini untuk membela diri. Lalu pertanyaannya: siapa yang sebenarnya binatang di sini?
Mayoritas spesies hewan melakukan seks dengan satu tujuan: reproduksi. Tak ada bunga, cokelat, apalagi perdebatan panjang soal konsensualitas di kafe-kafe hewan. Ketika hormon memanggil dan betina menunjukkan tanda siap kawin, maka hubungan seksual terjadi. Setelah itu? Ya sudah. Tidak ada drama, tidak ada ghosting, dan tak ada pasangan yang tiba-tiba tidak membalas pesan karena trauma masa lalu.
Bahkan pada hewan-hewan sosial yang lebih kompleks seperti lumba-lumba dan bonobo, yang dikenal melakukan seks di luar konteks reproduksi, hubungan itu tetap dibingkai dalam semacam logika “keseimbangan sosial”. Seks menjadi alat rekonsiliasi, pelepas ketegangan, bahkan bentuk main-main. Bayangkan kalau manusia menggunakan seks semata untuk menyelesaikan konflik birokrasi: mungkin rapat-rapat DPR akan terasa jauh lebih… ehm, produktif?
Tapi yang paling penting: hewan tidak memperkosa. Ya, Anda tidak salah baca. Dalam dunia hewan, tidak ada tindakan seksual yang mengandung intensi sadar untuk menyakiti, mendominasi, atau menghancurkan martabat individu lain. Tidak ada naluri jahat yang dilandasi kesadaran moral, karena mereka memang tidak memainkannya di arena itu.
Berbeda dengan binatang, manusia melibatkan banyak hal dalam aktivitas seksual: emosi, nilai, budaya, agama, bahkan algoritma aplikasi kencan. Seks manusia tidak hanya menjadi sarana reproduksi, tapi juga rekreasi, relasi, ekspresi, bahkan represi.
Manusia membuat puisi, film, dan undang-undang tentang seks. Manusia bahkan bisa membuat seks menjadi komoditas atau senjata politik. Sungguh menakjubkan: satu aktivitas biologis bisa melahirkan industri bernilai miliaran dolar, sekaligus menjadi sumber rasa bersalah dalam banyak mimbar keagamaan.
Namun di balik itu semua, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan: kekerasan seksual. Dan di sinilah paradoks besar itu muncul: ketika seorang pelaku memperkosa, kita menyebutnya “berperilaku seperti binatang”, padahal yang dia lakukan adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh binatang manapun dalam kondisi sadar dan sehat.
Binatang tidak merancang kekerasan seksual. Mereka tidak mengintai korban, tidak memanipulasi kepercayaan, tidak memanfaatkan kekuasaan. Yang melakukan itu adalah manusia, dengan akalnya, dengan kehendaknya, dan kadang dengan dasi dan jabatan resminya.
Filosof Prancis, Michel Foucault, pernah mengingatkan kita bahwa seks bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal kekuasaan. Dalam relasi manusia, seks bisa menjadi cara untuk mengontrol, mendisiplinkan, bahkan mengukuhkan dominasi.
Ketika pemerkosaan terjadi, itu bukan lagi tentang dorongan biologis, melainkan tentang penghinaan terhadap kebebasan orang lain. Ini adalah bentuk kekerasan yang menggunakan seks sebagai topeng, tapi yang sebenarnya dituju adalah penghancuran kedaulatan tubuh dan martabat manusia.
Jadi, ketika kita menyamakan pelaku kekerasan seksual dengan binatang, kita sedang merendahkan binatang. Itu seperti menyalahkan pensil atas kesalahan ejaan yang kita buat sendiri.
Kalau binatang bisa bicara, mungkin seekor kucing akan berkata:
Bahkan pada hewan-hewan sosial yang lebih kompleks seperti lumba-lumba dan bonobo, yang dikenal melakukan seks di luar konteks reproduksi, hubungan itu tetap dibingkai dalam semacam logika “keseimbangan sosial”. Seks menjadi alat rekonsiliasi, pelepas ketegangan, bahkan bentuk main-main. Bayangkan kalau manusia menggunakan seks semata untuk menyelesaikan konflik birokrasi: mungkin rapat-rapat DPR akan terasa jauh lebih… ehm, produktif?
Tapi yang paling penting: hewan tidak memperkosa. Ya, Anda tidak salah baca. Dalam dunia hewan, tidak ada tindakan seksual yang mengandung intensi sadar untuk menyakiti, mendominasi, atau menghancurkan martabat individu lain. Tidak ada naluri jahat yang dilandasi kesadaran moral, karena mereka memang tidak memainkannya di arena itu.
Berbeda dengan binatang, manusia melibatkan banyak hal dalam aktivitas seksual: emosi, nilai, budaya, agama, bahkan algoritma aplikasi kencan. Seks manusia tidak hanya menjadi sarana reproduksi, tapi juga rekreasi, relasi, ekspresi, bahkan represi.
Manusia membuat puisi, film, dan undang-undang tentang seks. Manusia bahkan bisa membuat seks menjadi komoditas atau senjata politik. Sungguh menakjubkan: satu aktivitas biologis bisa melahirkan industri bernilai miliaran dolar, sekaligus menjadi sumber rasa bersalah dalam banyak mimbar keagamaan.
Namun di balik itu semua, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan: kekerasan seksual. Dan di sinilah paradoks besar itu muncul: ketika seorang pelaku memperkosa, kita menyebutnya “berperilaku seperti binatang”, padahal yang dia lakukan adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh binatang manapun dalam kondisi sadar dan sehat.
Binatang tidak merancang kekerasan seksual. Mereka tidak mengintai korban, tidak memanipulasi kepercayaan, tidak memanfaatkan kekuasaan. Yang melakukan itu adalah manusia, dengan akalnya, dengan kehendaknya, dan kadang dengan dasi dan jabatan resminya.
Filosof Prancis, Michel Foucault, pernah mengingatkan kita bahwa seks bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal kekuasaan. Dalam relasi manusia, seks bisa menjadi cara untuk mengontrol, mendisiplinkan, bahkan mengukuhkan dominasi.
Ketika pemerkosaan terjadi, itu bukan lagi tentang dorongan biologis, melainkan tentang penghinaan terhadap kebebasan orang lain. Ini adalah bentuk kekerasan yang menggunakan seks sebagai topeng, tapi yang sebenarnya dituju adalah penghancuran kedaulatan tubuh dan martabat manusia.
Jadi, ketika kita menyamakan pelaku kekerasan seksual dengan binatang, kita sedang merendahkan binatang. Itu seperti menyalahkan pensil atas kesalahan ejaan yang kita buat sendiri.
Kalau binatang bisa bicara, mungkin seekor kucing akan berkata:
“Tolong, jangan samakan kami dengan manusia yang memperkosa. Kami memang suka kawin seenaknya, tapi setidaknya kami tidak membuat undang-undang yang membela pemerkosa asal mereka punya jabatan.”
Dan mungkin bonobo akan menambahkan:
“Kalau kalian stres dan marah, kenapa tidak selesaikan dengan pelukan dan seks suka sama suka seperti kami? Ngapain malah bikin utas panjang di Twitter?”
Lucunya, semakin manusia menganggap dirinya makhluk beradab, semakin dia menciptakan ruang untuk menyakiti sesamanya dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh binatang manapun. Mungkin karena manusia bisa berpikir, dia juga bisa menciptakan justifikasi moral, agama, dan hukum untuk membenarkan kebrutalan.
Maka mungkin sudah waktunya kita berhenti menyebut pelaku kekerasan seksual sebagai binatang. Bukan karena kita membela mereka, tapi karena kita menghormati binatang. Mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai makhluk rasional, tapi mereka juga tidak pernah menggunakan rasionalitas untuk menghancurkan yang lemah.
Dan kalau suatu saat Anda melihat dua kucing kawin di atap rumah, jangan buru-buru menutup mata sambil berkata, “Ih, dasar binatang!”
Coba berpikir: Mereka mungkin lebih tahu batas dan kehormatan tubuh dibanding sebagian manusia.
Maka mungkin sudah waktunya kita berhenti menyebut pelaku kekerasan seksual sebagai binatang. Bukan karena kita membela mereka, tapi karena kita menghormati binatang. Mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai makhluk rasional, tapi mereka juga tidak pernah menggunakan rasionalitas untuk menghancurkan yang lemah.
Dan kalau suatu saat Anda melihat dua kucing kawin di atap rumah, jangan buru-buru menutup mata sambil berkata, “Ih, dasar binatang!”
Coba berpikir: Mereka mungkin lebih tahu batas dan kehormatan tubuh dibanding sebagian manusia.