Penulis: Nur Suhud | Editor: Muhamad Tonis Dz
![]() |
Nur Suhud (anggota DPR RI periode 2004-2019) |
Ketiadaan Perdebatan tentang Pancasila
Salah satu sebab utama dari tidak hadirnya Pancasila dalam praksis kebangsaan kita adalah tidak adanya ruang diskusi terbuka dan kritis tentang bagaimana Pancasila seharusnya mendarat dalam praktik kehidupan bernegara. Ia tidak segera didiskusikan ulang. Tidak diperdebatkan kembali. Padahal, kita seharusnya bertanya: sistem seperti apa yang mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara utuh? Dalam kehidupan sosial, dalam praktik kemasyarakatan, dalam sistem politik dan ekonomi?Selama ini, sebagian besar kelompok elite hanya mengakui Pancasila sebagai simbol. Mereka tidak menolak Pancasila secara formal, tapi juga tidak bersedia mengimplementasikannya secara nyata. Ketika diajak untuk membumikan Pancasila dalam sistem, mereka cenderung menghindar atau bahkan secara halus memboikot.
Salah satu contoh penting adalah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden (Moh. Hatta) Nomor X, yang secara halus telah menggunting peluang untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar sistem politik. Padahal, bila kita konsisten pada nilai-nilai Pancasila, maka seharusnya partai politik yang cocok adalah partai pelopor, bukan sistem multipartai seperti sekarang. Sistem politik yang sesuai dengan Pancasila seharusnya menempatkan musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan utama, bukan voting atau hitung-hitungan suara mayoritas. Karena perkara-perkara penting di dalam negara tidak seharusnya diputuskan dengan adu banyak suara, tapi dengan kebijaksanaan dan pertimbangan kolektif yang matang.
Tidak Hadirnya Rancang Bangun Konstitusional Berbasis Pancasila
Di luar bidang politik, kita juga tidak pernah melihat lahirnya undang-undang yang benar-benar merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila. Dalam istilah kami, tidak pernah ada rancang bangun ideologis yang sistematis. Kalau itu bisa dikerjakan, seharusnya seluruh undang-undang di negeri ini dituntun dan dibingkai oleh nilai-nilai Pancasila.Tujuannya jelas: menciptakan masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun bukan dengan sistem kapitalisme, melainkan melalui sistem yang kita sebut sebagai sosialisme Indonesia. Kemakmuran memang bisa dicapai dengan kapitalisme, tapi itu bukan jalan yang kita pilih. Kita tidak menganut sistem yang bertumpu pada persaingan bebas, akumulasi modal, dan eksploitasi pasar. Kita telah memilih jalan keadilan sosial dalam sila kelima, dan itu hanya bisa dicapai dengan menegakkan sistem sosialisme Indonesia.
Kapitalisme dan Konglomerasi sebagai Ancaman terhadap Pancasila
Namun faktanya, realitas kita hari ini sangat jauh dari nilai-nilai tersebut. Konglomerasi terus merajalela. Sumber daya alam kita dikeruk habis-habisan, bahkan oleh tangan-tangan asing. Hukum bisa dibeli, regulasi bisa dipesan sesuai kepentingan pemodal. Dan yang lebih menyedihkan, kekerasan oleh alat-alat negara seringkali ditujukan pada rakyat kecil, bukan pada para pelanggar besar yang sesungguhnya.Semua ini adalah pengkhianatan terhadap Pancasila. Dan itu terjadi karena Pancasila tidak pernah sungguh-sungguh diimplementasikan dalam kebijakan. Ia hanya dijadikan mitos yang disucikan, bukan nilai yang diturunkan ke dalam sistem kehidupan nyata.
Pensakralan Pancasila sebagai Strategi Politik Elit
Pensakralan Pancasila bukanlah fenomena yang netral. Ia adalah bagian dari strategi politik segelintir elit yang ingin menjadikan tafsir atas Pancasila sebagai monopoli mereka. Mereka menjadikan Pancasila sebagai simbol yang tak boleh disentuh, tak boleh dibahas ulang, dan apalagi ditafsirkan dari perspektif rakyat.Contoh paling nyata dari kekeliruan ini adalah dalam cara kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Alih-alih menjadi ajang evaluasi ideologis tahunan, peringatan ini berubah menjadi seremoni kosong: upacara, lomba, pidato-pidato retoris, atau acara hiburan yang tidak menyentuh substansi. Padahal seharusnya, peringatan Pancasila dijadikan momentum untuk mengukur sejauh mana Pancasila benar-benar hadir dalam kehidupan sosial. Apakah ketimpangan sosial yang terus melebar hari ini bisa dianggap sebagai keberhasilan implementasi Pancasila? Apakah eksploitasi sumber daya oleh korporasi besar itu sejalan dengan semangat keadilan sosial? Apakah kekerasan yang dilakukan negara terhadap rakyat bisa dibenarkan atas nama Pancasila? Saya pikir jawabannya jelas: tidak.
Sayangnya, Pancasila hari ini diperingati seperti memperingati kematian dalam tradisi Jawa, ada tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari, tapi tidak pernah benar-benar dihidupkan dalam kehidupan sosial dan kebangsaan.
Urgensi Forum Nasional: Merumuskan Ulang dan Mendaratkan Pancasila
Oleh karena itu, kita perlu melakukan penataan ulang secara menyeluruh. Jika para elit terus pasif, maka kelompok-kelompok muda harus tampil ke depan. Perlu ada seminar nasional, temu rakyat, atau forum warga bangsa yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, untuk bersama-sama merumuskan kembali: Apa sebenarnya Pancasila itu? Apa tujuan yang ingin dicapai dari kelima sila itu? Sistem seperti apa yang harus dibangun agar sejalan dengan nilai-nilai tersebut?Setelah itu, barulah kita identifikasi: undang-undang mana yang harus segera diubah atau direvisi? Misalnya, kenapa di negeri yang mengklaim diri sebagai negara Pancasila, tidak ada undang-undang perlindungan sosial yang sungguh-sungguh berpihak pada rakyat? Mengapa sistem jaminan sosial kita lebih mirip sistem kapitalis daripada sistem keadilan sosial?
Idealnya, harus ada semacam undang-undang ideologis yang menjadi pedoman utama semua peraturan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian, kelautan, dan seterusnya. Semua bidang itu harus tunduk pada satu nilai dasar: keadilan sosial. Tidak boleh lagi ada regulasi yang justru memperbesar kesenjangan sosial dan memperkuat dominasi kapital.
Pancasila sebagai Rasionalitas Nilai
Kita juga harus memperbaiki cara berpikir kita. Selama ini, kita terjebak pada rasionalitas tujuan: mengejar hasil dan keuntungan, lalu menyesuaikan nilai-nilainya. Padahal yang seharusnya digunakan adalah rasionalitas nilai: nilai-nilai Pancasila-lah yang seharusnya membimbing kita dalam menentukan tujuan.Jika arah berpikir kita terus terbalik seperti ini, maka wajar jika bangsa ini terus mengalami kerusakan: rakyat menjadi miskin, lingkungan hancur, hukum tumpul ke atas, dan pembangunan hanya menjadi proyek teknokratis yang tidak membawa perubahan sosial apa-apa.
Penutup: Saatnya Membumikan Pancasila
Pancasila tidak bisa terus-menerus disakralkan tanpa arah. Ia bukan simbol mati, bukan slogan kosong, bukan mitos yang cukup diperingati. Ia harus menjadi fondasi hidup dari seluruh sistem sosial-politik kita.Sudah waktunya kita bertanya secara jujur: apakah Pancasila benar-benar telah dihayati dan diimplementasikan dalam kehidupan kita hari ini? Jika belum, maka tidak ada jalan lain kecuali merumuskan ulang, memperdebatkan secara terbuka, dan mendaratkannya secara nyata dalam sistem kehidupan bersama.
Jika para elite terlalu pasif atau terlalu nyaman dalam zona status quo, maka kelompok-kelompok muda, intelektual independen, dan masyarakat sipil harus bangkit. Kita butuh forum besar yang menegaskan kembali arah bangsa ini berdasarkan nilai-nilai asli Pancasila. Bukan Pancasila versi penguasa, bukan versi kapital, bukan versi militer, tetapi Pancasila sebagai nilai bersama rakyat Indonesia.