Pernyataan Bung Karno itu bukan sekadar retorika menjelang kemerdekaan. Ia adalah pengakuan bahwa dasar negara Indonesia bukan hasil adopsi dari luar, melainkan buah penggalian dari nilai-nilai luhur yang telah hidup di bumi Nusantara jauh sebelum republik ini lahir. Tapi pertanyaan menarik muncul: nilai dari masyarakat yang mana? Apakah nilai-nilai itu sungguh hidup secara utuh di masyarakat kita?“aku tidak mengatakan bahwa aku yang menciptakan Pancasila, apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara indah,”
Ilustrasi: Pancasila dan Jejak Masyarakat Badui
— Soekarno, 1 Juni 1945
Salah satu jawaban kuat justru datang dari tempat yang kerap dilupakan sejarah: masyarakat Badui.
Badui: Jejak Luhur yang Terjaga
Masyarakat Badui, khususnya Badui Dalam, hidup di pedalaman Banten dengan pola hidup yang sangat ketat menjaga keselarasan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Mereka menolak listrik, kendaraan, bahkan sistem pendidikan formal, bukan karena anti-modernitas, tetapi karena mereka punya cara sendiri menjaga tatanan nilai yang sudah ratusan tahun mengakar.Dan ketika kita tilik lebih dalam, nilai-nilai yang dijaga masyarakat Badui justru sangat dekat dengan lima sila dalam Pancasila:
- Ketuhanan: dalam keyakinan Sunda Wiwitan, Tuhan adalah kekuatan tertinggi yang mengatur alam, dan manusia wajib menjaga harmoni dengannya.
- Kemanusiaan: hidup sederhana tanpa eksploitasi, tanpa kekerasan, dengan menjunjung tinggi martabat manusia.
- Persatuan: ikatan sosial sangat kuat, tidak ada individualisme ekstrem.
- Permusyawaratan: segala keputusan diambil melalui musyawarah adat, tidak otoriter tapi juga tidak liberal.
- Keadilan sosial: tidak ada kelas ekonomi mencolok, semua bekerja sesuai kebutuhan dan kemampuan, bukan demi akumulasi.
Lalu, Mengapa Pancasila Masih Harus Dirumuskan?
Kalau nilai-nilai itu sudah ada, kenapa Bung Karno masih perlu merumuskannya? Jawabannya sederhana tapi mendalam: karena nilai-nilai lokal tidak otomatis menjadi kesadaran nasional.Indonesia bukan satu suku, bukan satu budaya, bukan satu agama. Maka nilai-nilai luhur seperti yang dijaga masyarakat Badui perlu dinaikkan ke tataran nasional sebagai nilai bersama. Pancasila adalah rumusan universal dari nilai-nilai partikular. Ia bukan sekadar cermin Badui, tetapi juga Samin, Minangkabau, Bugis, Dayak, dan lainnya, disaring, disintesis, dan dipersatukan.
Bung Karno tidak mengambil satu masyarakat sebagai model tunggal, tapi mengambil semangat kolektif dari banyak komunitas adat, dan Badui adalah salah satu wujud paling jernih dari semangat itu.
Mengindonesiakan yang Badui, Membadui-kan yang Indonesia
Maka bisa dikatakan: Bung Karno tidak menciptakan Pancasila, ia merumuskannya, agar apa yang hidup di Badui bisa hidup pula di Jakarta, di Ambon, di Medan, di Manado. Agar kesederhanaan, musyawarah, dan keadilan tidak tinggal di desa adat, tetapi menjadi cita nasional.Tugas kita hari ini bukan sekadar menghafal lima sila, tetapi menghidupkan kembali semangat masyarakat seperti Badui dalam kehidupan nasional. Mungkin kita tidak bisa hidup seperti mereka, tapi kita bisa belajar dari keteguhan mereka menjaga nilai yang hari ini justru sering kita abaikan.