![]() |
Ilustrasi Via Copilot |
Ada banyak jenis sakit di dunia ini. Sakit gigi, sakit kepala, sakit hati, bahkan sakit karena digantung tanpa kepastian. Tapi dari semua itu, satu sakit yang paling susah disembuhkan adalah: sakit karena negara pura-pura peduli.
Kami pernah mendengar petugas rumah sakit berkata dengan sopan tapi menusuk, “Maaf, BPJS-nya tidak bisa digunakan. Ada data ganda.” Sejenak kami berpikir, apakah pasiennya punya kembaran? Apakah ini film sci-fi? Tapi ini bukan Stranger Things, ini RSUD Kabupaten.
Klien kami, sebut saja SA, dibawa ke rumah sakit dengan harapan sembuh. Tapi di dunia kesehatan, sembuh itu nomor dua. Nomor satu adalah: status administrasi. Kartu BPJS SA ditolak karena katanya ada data ganda. Entah bagaimana, sebuah sistem digital yang didanai triliunan bisa kebingungan membedakan satu manusia dengan dirinya sendiri.
Lucunya, di dunia kesehatan kita, jika kamu datang dengan penyakit jantung tapi kartu BPJS rusak, itu dianggap lebih bermasalah daripada jantungmu yang mau berhenti. Orang boleh sekarat, tapi sistem harus akurat.
Setelah beberapa hari dirawat, dengan segala biaya yang dihitung sampai sarung bantal, SA akhirnya dipulangkan. Bukan karena sudah sehat, tapi karena sudah tak sanggup bayar. Di sinilah dunia kesehatan Indonesia mengajarkan filosofi baru: jika kamu miskin, pulanglah, dan semoga sembuh di rumah.
SA yang belum sembuh akhirnya dibawa ke Puskesmas. Petugas di sana berkata, “Ini harus dirujuk ke RSUD.” Maka SA kembali ke rumah sakit yang tadi memulangkannya. Kita jadi bertanya-tanya: siapa yang sakit sebenarnya? Pasiennya atau sistemnya?
Kita menyaksikan sistem rujukan yang bekerja seperti mesin fotokopi error: terus menggandakan perjalanan pasien tanpa solusi.
Dunia kesehatan kita punya banyak bentuk: bangunannya megah, seragamnya rapi, brosurnya indah. Tapi di balik itu semua, sering kali tersembunyi tragedi yang tidak ditulis di laporan tahunan: pasien miskin yang lelah jadi nomor antrian, bukan manusia.
Kita pernah mendengar cerita soal pasien yang katanya dapat obat gratis, tapi “stok kosong” setiap bulan. Lucunya, tender pengadaan obat jalan terus. Mungkin obatnya dikirim ke dimensi lain. Mungkin kita harus pakai dukun logistik.
Ada juga yang operasi katarak gratis, tapi setelah itu pasien diminta beli “obat pendukung” seharga setengah UMR. Rasanya seperti beli motor murah, tapi harus isi bensin di planet Mars.
Plato pernah berkata: “Keberadaban suatu bangsa dilihat dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.” Kalau Plato datang ke sini, mungkin dia akan menulis buku baru: Republik yang Diperban dengan Tiket Antrian.
Negara memang punya undang-undang. Tapi undang-undang tak akan membalut luka kalau di lapangan yang bekerja adalah logika untung-rugi. Pasien adalah manusia, bukan angka dalam SP2D atau rekap bulanan BPJS. Sistem kita hebat memberi aturan, tapi lemah memberi akal sehat. Banyak pasien paham sakit mereka, tapi bingung dengan logika administratif rumah sakit.
Kami bukan superhero. Kami tak bisa menyulap rumah sakit jadi tempat surga. Tapi kami percaya, suara rakyat kecil yang disakiti sistem, layak dituliskan. Layak diperjuangkan. Layak diabadikan, agar suatu hari, anak cucu kita tak perlu antri di IGD hanya untuk mendengar, “Maaf, BPJS Anda tidak bisa digunakan.”
Karena sehat seharusnya bukan hadiah bagi yang mampu. Tapi hak semua orang yang hidup. Dan kalau sistem belum berubah, biarlah kita yang memulainya, dengan mendengar, menulis, dan melawan, satu pasien, satu kisah, satu napas keadilan pada satu waktu.
“Tak semua yang sakit bisa sembuh. Tapi semua yang menderita layak diperjuangkan.”
*Tulisan ini karangan dan bersifat fiktif belaka, apabila ada kesamaan peristiwa, mungkin itu hanya kebetulan saja, mungkin.