![]() |
Bukan ilustrasi Ibrahim |
Seto Mulyadi tentu tidak akan tinggal diam. Mungkin sebelum pisau sempat diangkat, Ibrahim sudah dicegat oleh Lembaga Perlindungan Anak, difasilitasi pendampingan psikolog, lalu diundang ke podcast untuk menjelaskan secara terbuka: “Apa motif Bapak sebenarnya?”
Namun tentu, polisi tidak membaca Ricoeur. Polisi membaca laporan warga, mendengar jeritan anak, dan menyita senjata tajam.
Jika seseorang hari ini mengklaim diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya, tak pelak, kita akan mengaitkannya dengan gangguan kejiwaan. Bahkan mungkin tokoh seperti Ibraham sendiri akan dimasukkan dalam ICD-11 dengan diagnosis religious delusion with homicidal intent. Di era pengawasan digital, Tuhan boleh saja tak terlihat, tetapi CCTV ada di mana-mana.
Maka Ismail, dalam versi abad ini, tak akan menjadi simbol kepatuhan anak, melainkan korban kekerasan dalam rumah tangga yang viral dan mendapat pendampingan dari LPSK.
Domba bisa diantar lewat kurir, tapi bagaimana dengan iman? Tindakan pengorbanan telah beralih dari gunung sunyi ke aplikasi dompet digital. Nilai spiritualnya, jika tidak benar-benar direnungkan, bisa hanyut dalam notifikasi promo.
Tuhan pun, hari ini tidak datang dalam mimpi. Ia hadir dalam video YouTube berdurasi 8 menit dengan judul “3 Cara Menyembelih Hawa Nafsu Menurut Ustadz Viral”.
Mungkin kisah penyembelihan itu bukan tentang pisau dan darah, tapi tentang keberanian melepaskan apa yang paling kita cintai ketika Tuhan (atau hati nurani) memintanya. Hari ini, Ismail bisa berarti ambisi, harta, reputasi, atau bahkan ego kita sendiri. Pertanyaannya: masihkah kita bersedia “menyembelih” itu demi sesuatu yang lebih luhur?
Sayangnya, kebanyakan dari kita bahkan enggan memotong kuota media sosial kita 30 menit sehari demi merenung.
Dari Wahyu ke Delusi: Problematika Modernisasi Spiritual
Dalam filsafat modern, khususnya dalam diskursus hermeneutika, setiap teks, termasuk teks keagamaan, mengalami pelapisan makna yang tak habis dikupas. Paul Ricoeur, misalnya, mengajukan teori tentang distanciation, yaitu pemisahan makna literal dari makna simbolik untuk membuka ruang interpretasi baru. Maka dalam konteks ini, bisikan yang diterima Ibrahim bukanlah instruksi harfiah, melainkan simbol dari konflik eksistensial antara cinta terhadap anak dan ketaatan terhadap Tuhan.Namun tentu, polisi tidak membaca Ricoeur. Polisi membaca laporan warga, mendengar jeritan anak, dan menyita senjata tajam.
Jika seseorang hari ini mengklaim diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya, tak pelak, kita akan mengaitkannya dengan gangguan kejiwaan. Bahkan mungkin tokoh seperti Ibraham sendiri akan dimasukkan dalam ICD-11 dengan diagnosis religious delusion with homicidal intent. Di era pengawasan digital, Tuhan boleh saja tak terlihat, tetapi CCTV ada di mana-mana.
Negara, Moral Publik, dan Hak Anak: Siapa Tuhan yang Sebenarnya?
Negara modern berperan sebagai Leviathan ala Hobbes, penjamin ketertiban dan keselamatan warga. Maka tindakan Ibrahim, betapapun sakral menurutnya, akan dibaca sebagai pelanggaran serius terhadap norma publik. Dalam hal ini, kita menemukan pertentangan epistemologis antara hukum ilahi dan hukum positif. Yang satu bersandar pada wahyu, yang lain pada draf RUU dan rapat paripurna. Sayangnya, yang memiliki aparat penegak hukum bukanlah wahyu, melainkan negara.Maka Ismail, dalam versi abad ini, tak akan menjadi simbol kepatuhan anak, melainkan korban kekerasan dalam rumah tangga yang viral dan mendapat pendampingan dari LPSK.
Pengorbanan di Era E-Commerce: Domba via Online, Tuhan via Streaming
Idul Adha, kini telah mengalami dekonstruksi menjadi festival tahunan daging bersubsidi, tabungan qurban, dan konten Instagram. Jika Ibrahim hidup sekarang, ia mungkin tak membawa Ismail, melainkan transfer ke marketplace hewan qurban. “Qurban kilat, pahala cepat, bebas ongkir.”Domba bisa diantar lewat kurir, tapi bagaimana dengan iman? Tindakan pengorbanan telah beralih dari gunung sunyi ke aplikasi dompet digital. Nilai spiritualnya, jika tidak benar-benar direnungkan, bisa hanyut dalam notifikasi promo.
Tuhan pun, hari ini tidak datang dalam mimpi. Ia hadir dalam video YouTube berdurasi 8 menit dengan judul “3 Cara Menyembelih Hawa Nafsu Menurut Ustadz Viral”.
Jangan-Jangan, Ibrahim Itu Kita?
Sebelum kita menertawakan kisah Ibrahim sebagai sesuatu yang out of date, ada baiknya kita bertanya: jika Ibrahim hidup di zaman ini, benarkah ia yang aneh, atau kita yang kehilangan kemampuan memahami simbol?Mungkin kisah penyembelihan itu bukan tentang pisau dan darah, tapi tentang keberanian melepaskan apa yang paling kita cintai ketika Tuhan (atau hati nurani) memintanya. Hari ini, Ismail bisa berarti ambisi, harta, reputasi, atau bahkan ego kita sendiri. Pertanyaannya: masihkah kita bersedia “menyembelih” itu demi sesuatu yang lebih luhur?
Sayangnya, kebanyakan dari kita bahkan enggan memotong kuota media sosial kita 30 menit sehari demi merenung.
Penutup
Kalau Ibrahim benar hidup di abad ini, ia tidak akan naik ke gunung. Mungkin ia akan naik ke ruang sidang. Tapi jika kita membaca ulang kisahnya dengan mata yang jernih, kita mungkin sadar bahwa persoalannya bukan pada pisau, melainkan pada kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin gaduh, mungkin yang paling layak dikorbankan bukan anak, melainkan egosentrisme manusia yang mengaku beragama tapi tak kenal makna pengorbanan.Dan, kalau Kak Seto membaca ini, tenang, ini hanya opini. Ismail baik-baik saja.