‘Halal’: Stempel Suci di Dunia yang Kotor

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi : ‘Halal’: Stempel Suci di Dunia yang Kotor
Di Indonesia, label halal adalah segalanya. Ia menjadi tanda kepercayaan, kenyamanan, bahkan kesalehan. Sebungkus mie instan tanpa stempel MUI bisa lebih memicu kecemasan daripada satu miliar rupiah yang diperoleh dari jalan abu-abu. Kita hidup dalam masyarakat yang sangat peduli pada label, tapi tak selalu peduli pada isi.

Polemik soal Ayam Goreng Widuran di Solo, yang ternyata menggunakan minyak babi tanpa informasi jelas selama puluhan tahun, membuka kembali obrolan lama soal apa arti halal hari ini. Reaksi publik begitu keras, karena ada yang dirusak: rasa aman, rasa suci, rasa benar. Namun, di balik semua itu, ada satu pertanyaan besar yang jarang ditanyakan: apakah label halal selalu menjamin kejujuran? Atau justru menciptakan ilusi kepastian yang kita sembah diam-diam?

Label dan Kenyamanan

Label halal bekerja seperti sabuk pengaman: memberi ilusi bahwa kita aman, meski kita tetap bisa celaka. Asal ada stempel MUI, kita merasa terbebas dari dosa. Padahal proses di balik label itu seringkali tak kita ketahui. Apakah semua proses audit benar-benar berjalan jujur? Apakah semua produk yang dilabeli halal benar-benar memanusiakan pekerja, membayar pajak dengan adil, dan tidak mengeksploitasi alam?

Tapi kita tidak ingin repot. Kita ingin percaya. Dan label halal memberi kita kenyamanan spiritual instan tanpa perlu menyelidiki lebih dalam.

Simbolisasi Keimanan

Makanan adalah bagian paling “langsung” dari agama yang bisa dipraktikkan sehari-hari. Tidak makan babi, tidak minum alkohol, tidak menyantap daging yang tidak disembelih atas nama Tuhan, semua itu adalah ekspresi iman yang mudah dikenali dan mudah dijaga. Maka, industri halal pun tumbuh subur. Dari kosmetik, laundry, hotel, hingga air minum dalam kemasan, semua bisa “diislamkan”.

Namun ironinya, kehalalan sering kali berhenti di lidah. Padahal Islam tidak hanya bicara soal apa yang masuk ke mulut, tapi juga apa yang keluar dari hati: kejujuran, keadilan, amanah, dan tanggung jawab sosial. Sayangnya, aspek ini justru kerap dikesampingkan.

Ketika Label Menyembunyikan Ketimpangan

Apa gunanya produk halal jika dibuat di pabrik yang mengeksploitasi buruh? Apa gunanya rumah makan halal jika menyuap pejabat untuk izin operasional? Apa gunanya sertifikasi halal pada bisnis yang memperkaya diri dengan menindas petani kecil atau memanipulasi harga pasar?

Label halal bisa menjadi alat pencuci dosa. Ia bisa jadi pelindung bagi ketidakadilan yang disamarkan dalam wangi kapulaga dan cita rasa bumbu Nusantara. Kita hanya melihat “halal”-nya, tanpa peduli bagaimana ia diproduksi, siapa yang dirugikan, dan siapa yang dipaksa diam.

Halal sebagai Proses, Bukan Stempel

Sudah saatnya kita kembali melihat halal sebagai proses etis, bukan sekadar label administratif. Halal bukan hanya soal tidak ada babi, tetapi juga soal tidak ada dusta. Bukan hanya soal disembelih atas nama Tuhan, tetapi juga soal tidak ada penindasan terhadap ciptaan Tuhan.

Kita butuh pemahaman yang lebih mendalam, bahwa kehalalan sejati mencakup hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah), manusia dengan sesama (hablum minannas), dan manusia dengan alam (hablum minal ’alam). Tanpa itu, label halal akan terus jadi kosmetik spiritual yang meninabobokan nurani.

Menolak Ilusi, Menemukan Iman yang Jujur

Di tengah dunia yang penuh simbol dan stempel ini, barangkali tugas kita adalah membongkar ilusi. Mempertanyakan ulang apa yang selama ini kita anggap suci. Dan belajar menerima kenyataan pahit bahwa banyak dari apa yang kita konsumsi, baik makanan, uang, atau informasi, belum tentu halal secara hakikat.

Iman bukan soal mencari kenyamanan, tapi soal keberanian untuk jujur. Termasuk jujur pada apa yang kita makan, dan lebih-lebih lagi, pada bagaimana kita hidup.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS