Dari Layanan Publik ke Unit Usaha Daerah: Wajah Baru RSUD

Oleh: Redaksi |
Dari Layanan Publik ke Unit Usaha Daerah: Wajah Baru RSUD
Rumah sakit daerah adalah simbol kehadiran negara. Di sanalah warga biasa, yang tidak punya asuransi mahal, tidak punya akses fasilitas elite, bisa berobat dengan tenang. RSUD adalah tempat terakhir bagi mereka yang tak mampu, tapi masih percaya pada fungsi sosial negara. Idealnya begitu.

Tapi, pelan-pelan, RSUD bergerak seperti entitas bisnis. Pasien bukan lagi warga yang harus dilindungi, tapi konsumen yang harus dilayani, dan jika perlu, “dimonetisasi”.

Dari Fasilitas Publik ke Unit Usaha Daerah

Proses ini tidak terjadi dalam semalam. Banyak RSUD kini berubah status hukum menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Di atas kertas, status ini memberi keleluasaan manajemen: fleksibilitas anggaran, kemandirian operasional, dan insentif peningkatan mutu layanan.

Tapi seperti yang sering terjadi dalam kebijakan publik di Indonesia, niat baik bisa berbelok arah. Alih-alih memperkuat fungsi sosial, status BLUD justru membuka ruang komersialisasi terselubung. Rumah sakit didorong “mandiri” secara anggaran, yang berarti mereka harus bisa menghasilkan uang sendiri. Dan dalam dunia layanan kesehatan, uang datang dari pasien.

Ketika Pasien Jadi Sumber Pendapatan

Ini bukan teori konspirasi. Banyak RSUD sekarang berlomba membangun unit-unit layanan premium: rawat inap VIP, pelayanan eksekutif, paket medical check-up eksklusif, bahkan layanan estetika. Tidak ada yang salah dengan peningkatan mutu, tapi yang menjadi soal adalah prioritas dan orientasi institusi.

Ketika RSUD mulai menghitung rasio pendapatan per tempat tidur, ketika direktur rumah sakit bicara soal cost recovery dan margin layanan, ketika ruang kelas 3 semakin berdesakan tapi ruang VIP tetap sepi namun tetap dipertahankan, maka yang sedang terjadi adalah transformasi diam-diam: dari pelayanan publik ke manajemen berbasis laba.

Fungsi Sosial yang Terkikis

Harus diakui, biaya operasional rumah sakit tinggi dan fungsi RSUD sebagai penjamin layanan dasar warga miskin menjadi kabur. Pasien peserta BPJS, yang notabene mayoritas warga biasa, kadang diposisikan sebagai beban, bukan prioritas.

Prosedur diperketat, ketersediaan kamar dibatasi, klaim diproses lambat. Sebaliknya, pasien umum yang membayar tunai atau lewat asuransi swasta lebih cepat ditangani, lebih fleksibel, dan tentu: lebih “menguntungkan”.

Ini menjadikan pelayanan kesehatan sebagai arena stratifikasi sosial. Siapa yang mampu bayar lebih, dapat lebih. Yang tidak? Harus sabar, dalam arti harfiah maupun teologis.

Rumah Sakit, Negara, dan Tubuh yang Tertinggal

Filsuf Michel Foucault pernah bicara tentang “biopolitik”: bagaimana negara mengatur tubuh dan kehidupan warganya. Dalam konteks hari ini, kita bisa menambahkan satu pertanyaan: apakah negara masih mengatur demi kesejahteraan tubuh warganya, atau justru tubuh warga dibiarkan jadi komoditas dalam sistem layanan publik yang dikorporatisasi?

RSUD mestinya menjadi perpanjangan tangan konstitusi, yang menyatakan kesehatan sebagai hak dasar. Tapi jika RSUD mulai dikelola seperti hotel, memasarkan jasa seperti spa, dan menghitung untung rugi seperti perusahaan logistik, maka kita patut bertanya: apakah ini rumah sakit, atau rumah usaha?

Jalan Tengah atau Jurang Kepentingan?

Tentu, ada argumen yang membela pendekatan bisnis: tanpa kemandirian anggaran, RSUD bisa kolaps. Pendapatan dari layanan tambahan bisa digunakan untuk subsidi silang. Namun yang sering terjadi: logika bisnis merasuki seluruh aspek pengambilan keputusan. Subsidi silang menjadi janji, bukan praktik. Sementara warga kecil tetap harus berjuang untuk mendapat layanan dasar.

Maka penting untuk membedakan antara profesionalisasi dan privatisasi. RSUD memang perlu dikelola dengan manajemen modern, efisien, dan akuntabel. Tapi semua itu harus tetap tunduk pada prinsip: kesehatan sebagai hak, bukan dagangan.

Jika negara hadir dalam ruang pengadilan lewat hakim, maka negara hadir di rumah sakit lewat cara pasien dilayani. Ketika rumah sakit daerah kehilangan empatinya, kehilangan kesediaannya mendengar, dan kehilangan perannya sebagai pelindung kelompok rentan, maka sebenarnya negara sedang perlahan pergi dari ruang-ruang publik.

Hari ini, terlalu banyak rumah sakit daerah yang dipoles agar tampak modern, tapi melupakan mengapa mereka ada. Mereka didirikan bukan untuk bersaing dengan rumah sakit swasta, tapi untuk melindungi warga dari bahaya: sakit, miskin, dan kehilangan harapan.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS