BPJS dan Mitos Negara Penjamin: Tafsir Ulang Hak atas Kesehatan

Oleh: Redaksi |


BPJS dan Mitos Negara Penjamin: Tafsir Ulang Hak atas Kesehatan
Dalam khazanah politik kesejahteraan, negara modern konon hadir sebagai welfare state: entitas rasional yang tidak hanya menegakkan hukum dan pertahanan, tetapi juga menjamin kesehatan warganya. Salah satu wujud nyata dari klaim itu di Indonesia adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, atau lebih akrab disingkat sebagai BPJS, lembaga yang kadang terasa lebih kuat daripada rasa percaya diri kita sendiri.

Secara teoritis, BPJS adalah instrumen agung: menyatukan jaminan sosial, mengusung semangat gotong royong, dan menjamin akses kesehatan universal. Namun seperti banyak hal dalam politik publik, apa yang dirancang ideal di ruang seminar, seringkali rontok di ruang tunggu rumah sakit.

Administrasi sebagai Jalan Pencerahan atau Jalan Kesabaran?

BPJS beroperasi dalam semangat efisiensi birokrasi. Tapi dalam praktik, justru ritual administratif menjadi bentuk penderitaan tersendiri. Untuk berobat dengan BPJS, seseorang harus terlebih dahulu melalui faskes tingkat pertama, mendapat rujukan, lalu berharap sistem digital tidak sedang “maintenance”.

Seseorang bisa mengalami dehidrasi bukan karena demam tinggi, tapi karena terlalu banyak mondar-mandir membawa fotokopi KTP, KK, dan surat keterangan miskin yang perlu dilegalisir tiga tingkat ke atas. Negara ini begitu percaya pada dokumen, bahkan ketika tubuh pasien sudah bicara lebih keras dari surat apa pun.

Dan seperti dalam filsafat eksistensialisme: manusia terlempar begitu saja ke dunia yang absurd, pasien pun terlempar ke sistem yang tak ia pahami. Sistemnya mungkin logical, tapi tak selalu humanely accessible.

Gotong Royong: Retorika atau Realitas?

Kita sering mendengar bahwa sistem BPJS dibangun atas prinsip gotong royong. Dalam bahasa ekonomi sosial: yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang tidak. Terdengar mulia. Tapi seperti kata filsuf Prancis Simone Weil, “retorika solidaritas mudah lahir dari posisi aman.”

Di lapangan, banyak warga merasa sudah membayar iuran rutin, tapi justru diminta membayar lagi saat membutuhkan layanan. Yang lain menunggak bukan karena enggan, tapi karena pendapatan datang seperti musim hujan: tak tentu dan tak bisa diramal aplikasi cuaca. Lalu ketika sakit, mereka dianggap “tidak disiplin” karena tak aktif bayar iuran. Dalam sistem ini, kedisiplinan keuangan kadang lebih dihargai dari kebutuhan medis.

Padahal, jika kita jujur, sistem ini lebih mirip crowdfunding yang dipaksa legal: bayar, kalau tidak, kamu keluar dari komunitas yang berhak sembuh.

Logika Formulir dan Ontologi Kesembuhan

Filsuf-filsuf klasik mungkin akan heran jika tahu bahwa dalam sistem kesehatan modern, status klaim ditentukan bukan oleh kondisi tubuh, tapi oleh kode-kode yang dimasukkan ke dalam sistem yang disebut INA-CBGs. Diagnosa yang tidak “masuk klasifikasi” bisa membuat klaim ditolak, meskipun pasiennya sudah separuh sembuh, atau separuh menyerah.

Dokter dan tenaga medis tak hanya mengobati, tapi juga menjadi operator sistem. Mereka menulis bukan lagi catatan klinis, tapi input data untuk menghindari audit dan potensi pengembalian klaim. Pasien menjadi objek administratif yang harus cocok dengan angka, bukan subjek pemulihan.

Kita mungkin harus bertanya: apakah sistem ini dirancang untuk merawat manusia, atau untuk merawat neraca keuangan? Karena jika semakin banyak pasien sembuh tapi tidak cocok sistem, lalu siapa sebenarnya yang “sakit”?

Kesehatan: Dari Hak Konstitusional ke Etalase Digital

Konstitusi kita dengan gagah berani menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pelayanan kesehatan. Tapi dalam praktik, hak itu harus diverifikasi secara digital, diverifikasi ulang di loket, dan sering kali diuji dengan antrean panjang.

Sungguh sebuah proses penyadaran bahwa di era digital ini, hak bukan lagi sesuatu yang melekat, tapi yang bisa dibuktikan lewat aplikasi dan QR code.

Yang tidak paham sistem, tertinggal. Yang tidak punya kuota, tersisih. Yang terlalu jujur saat mengisi data, bisa salah kategori. Maka tak heran, banyak warga belajar menjadi kreatif demi bisa sembuh: pakai nama orang lain, minta surat darurat dari RT, atau mendadak mengerti kode klaim lebih cepat dari mahasiswa administrasi publik.

Sistem yang Lebih Manusiawi

Kami tidak sedang mengutuk BPJS. Sebaliknya, kami mengakui: sistem ini adalah capaian besar, dan dibandingkan negara-negara lain, jangkauannya luas, cakupannya mengesankan. Tapi besar tidak selalu berarti baik, dan cakupan tidak selalu berarti terjangkau.
  • BPJS harus diperbaiki agar bisa lebih adaptif dan humanis. Beberapa hal mendesak antara lain: 
  • Penyederhanaan alur rujukan, terutama untuk kondisi darurat. 
  • Fleksibilitas dalam kasus administratif minor, seperti data ganda atau NIK tidak sinkron. 
  • Peningkatan literasi publik, bukan hanya soal iuran, tapi soal hak dan prosedur. 
  • Evaluasi ulang skema pembiayaan dan klaim, agar mutu layanan tak dikorbankan demi efisiensi.
Dan mungkin yang lebih penting: mengembalikan rasa hormat pada tubuh manusia. Bahwa seseorang sakit bukan karena tak patuh sistem, tapi karena ia manusia.

Negara, Sistem, dan Tubuh yang Masih Sakit

Di antara semua sistem birokrasi yang dibangun negara, sistem kesehatan seharusnya jadi yang paling manusiawi. Karena tak ada yang lebih rapuh dari tubuh yang sakit, dan tak ada yang lebih mengecewakan dari ketika tubuh itu ditolak oleh sistem yang seharusnya melindunginya.

Sebagus apa pun teknologi dan aplikasi yang digunakan BPJS, jika manusia di dalamnya tidak merasa dihargai sebagai subjek, maka yang sembuh hanyalah statistik, bukan kenyataan.

Seperti kata Camus, “Pemberontakan dimulai dari rasa tidak adil yang dirasakan dalam tubuh.” Dan hari ini, semakin banyak warga yang merasa, bahkan untuk sakit pun, mereka harus bisa menjelaskan logika sistem lebih dulu, baru bisa berharap pada pertolongan.

Maka kami percaya: menyembuhkan sistem kesehatan sama pentingnya dengan menyembuhkan pasien.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS