![]() |
BOS: Bancakan Operasional Sekolah |
Dana BOS, Sebuah program yang niat awalnya begitu mulia, tapi realisasinya seperti naskah sinetron dengan alur penuh intrik, manipulasi, dan pengkhianatan.
Di atas kertas, dana BOS itu sederhana: uang negara untuk mendukung operasional sekolah. Beli buku, alat tulis, perbaiki WC yang bocor, bayar honor guru honorer yang digaji negara semaunya. Tapi di dunia nyata, BOS sering berubah jadi Bancakan Operasional Sekolah.
Ada kepala sekolah yang tak bisa tidur karena ditagih “setoran” oleh oknum dinas. Ada guru honorer yang terus mengajar dengan senyum padahal honor-nya dipotong diam-diam. Ada vendor pengadaan yang menjual kursi murid dari triplek rapuh seharga kursi IKEA. Dan mungkin, ada juga siswa fiktif yang tiba-tiba muncul di daftar agar dana makin banyak. Tuhan pun mungkin bingung menghitung murid di sekolah-sekolah itu.
Korupsi dana BOS bukan sekadar pencurian uang. Ia adalah pelajaran nyata tentang bagaimana sistem ini mengajari orang untuk takut menolak, malu bertanya, dan rajin menyuap. Kepala sekolah tahu itu salah, tapi mereka juga tahu: jika tak ikut sistem, mereka bisa “dimutasi” ke sekolah yang nyaris ambruk, jauh di pelosok, dan tanpa sinyal.
Guru-guru mengajarkan kejujuran di kelas, sementara mereka sendiri dipaksa menandatangani laporan keuangan fiktif. Anak-anak diajarkan tentang antikorupsi, sementara dana BOS untuk beli penghapus malah dibelikan kopi dinas dan amplop rapat koordinasi.
Kita ini bangsa yang pintar membuat sistem. Tapi sistem yang kita buat, seringkali bukan untuk melindungi yang lemah, tapi justru untuk memperkuat yang kuat. Dana BOS sudah digital, pakai sistem ARKAS, pakai laporan daring. Tapi tetap saja, yang korup bukan sistemnya, tapi manusianya yang sudah sistematis.
Banyak orang tua tidak tahu-menahu. Mereka hanya tahu anaknya masih duduk di bangku reyot, buku belum ganti sejak zaman kurikulum KTSP, dan tiap semester tetap dimintai “sumbangan sukarela wajib”. Sementara pejabat pendidikan tersenyum di seminar, bicara soal transformasi digital dan pendidikan karakter. Karakter siapa yang dimaksud?
Mari berhenti sejenak dan bertanya: kita sedang membangun pendidikan, atau membangun proyek? Sebab kalau semua sekolah dipaksa cari vendor “yang sudah ditentukan”, kalau semua laporan harus cocok dengan selera atasan, kalau semua pengadaan harus pakai CV titipan, apa bedanya sekolah negeri dengan toko kelontong yang ikut tender?
Kalau ada anak SD yang hari ini menulis cita-citanya: “ingin menjadi kepala sekolah yang jujur,” mungkin dia sedang dibesarkan oleh orang tua yang terlalu polos. Di negeri ini, kejujuran kadang terasa seperti barang antik, dibanggakan, tapi jarang dipakai.
Tapi tetap, yakini saja, selama masih ada guru yang mengajar dengan nurani, orang tua yang berani bertanya, dan anak-anak yang masih percaya bahwa sekolah adalah tempat untuk tumbuh, bukan untuk dijual, maka harapan belum sepenuhnya mati.
Dan untuk para mafia anggaran pendidikan, semoga kalian suatu hari nanti bisa kembali duduk di bangku sekolah. Bukan untuk belajar lagi, tapi untuk diadili di ruang pengadilan yang memakai bangku sekolah bekas hasil pengadaan palsu kalian.