Ayam Goreng Widuran, Minyak Babi, dan Duit Haram yang Diam-diam Saja

Oleh: Redaksi |

 

Ilustrasi: Ayam Goreng Widuran, Minyak Babi, dan Duit Haram yang Diam-diam Saja

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial riuh dengan polemik “Ayam Goreng Widuran” di Solo. Restoran legendaris itu, yang sudah berdiri sejak 1973, kedapatan menggunakan minyak babi dalam proses memasak ayam kremesnya. Geger. Netizen marah. Umat Islam tersinggung. Tuntutan boikot menyeruak. Pemerintah turun tangan. Outlet ditutup sementara. Pihak restoran meminta maaf dan buru-buru mencantumkan label “non-halal” di media sosial mereka.

Reaksi keras ini lumrah. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim, isu makanan halal bukan urusan sepele. Ia menyangkut keyakinan, spiritualitas, dan ketaatan pada Tuhan. Tapi di tengah hiruk-pikuk ini, muncul satu pertanyaan menggelitik: mengapa kalau duit haram, kita diam-diam saja, tapi kalau makanan haram, hebohnya luar biasa?

Makanan punya posisi unik dalam praktik keagamaan. Ia langsung masuk ke dalam tubuh. Dalam Islam, makanan bukan hanya soal gizi, tapi juga soal keberkahan. Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak baginya.” Tak heran bila sebagian Muslim menjaga betul apa yang dikonsumsi. Maka ketika tahu bahwa ayam goreng yang selama ini disantap ternyata digoreng pakai minyak babi, reaksi emosional pun muncul. Ada rasa terkhianati. Ada amarah. Ada kegelisahan spiritual. Tapi justru di sinilah letak kontradiksi kita.

Kita tahu, uang suap masih mengalir di kantor-kantor. Gaji pegawai yang “ditambah” dengan pungutan liar dianggap biasa. Rekening hasil korupsi menyelinap ke rekening pribadi, lalu dipakai membayar umrah, membeli mobil, bahkan mungkin berdonasi ke masjid. Sistem ekonomi kita penuh lubang moral: riba dibungkus dengan nama “bunga”, eksploitasi dibungkus dengan “efisiensi”, pajak disunat dengan “kreativitas”.

Anehnya, semua ini jarang memicu kemarahan massal seperti kasus minyak babi tadi. Uang haram tidak memancing unjuk rasa. Jarang ada yang menuntut pelabelan “non-halal” pada rekening atau proyek pemerintah. Bahkan, uang itu bisa dengan mudah “disucikan” lewat sedekah atau amal jariyah. Kita tahu itu, tapi diam. Tidak heboh.

Ada dimensi visual dan personal dalam makanan. Ia bisa dilihat, dipegang, dirasakan. Saat ayam goreng menyentuh lidah, ada rasa, ada bukti. Sementara uang haram sering kali jauh dari pengalaman langsung. Ia tak terlihat. Ia tak berbentuk. Ia bercampur dalam sistem yang kompleks. Maka wajar jika yang pertama memicu reaksi emosional, sedang yang kedua tenggelam dalam relativisme dan pembenaran.

Lagipula, menahan diri dari makan ayam kremes terasa lebih ringan daripada menolak uang sogokan atau mundur dari proyek bermasalah. Yang satu berdampak pada lidah, yang satu lagi berdampak pada dompet. Dan kita tahu, iman seringkali goyah ketika berhadapan dengan angka.

Barangkali ini cermin dari bagaimana agama dipraktikkan secara selektif: aspek-aspek yang bersifat simbolik dan bisa dipertontonkan ke publik (seperti makanan, pakaian, ibadah fisik) mendapat perhatian besar. Sementara aspek yang lebih struktural, keadilan, integritas, etika sosial, justru sering dikesampingkan. Padahal, dalam Al-Qur’an, peringatan terhadap riba atau berlaku curang dalam timbangan jauh lebih sering muncul daripada larangan makan daging babi.

Polemik Ayam Goreng Widuran mestinya tidak berhenti di meja makan. Ia seharusnya mengantar kita pada refleksi yang lebih dalam: apakah kita hanya peduli pada halal-haram yang bisa kita lihat dan rasa, tapi membiarkan halal-haram yang menyelinap di sistem yang kita nikmati diam-diam?

Jika benar kita peduli pada kehalalan, maka seharusnya kepedulian itu tak berhenti pada piring. Ia harus menjalar ke slip gaji, ke kontrak kerja, ke pajak yang kita bayar (atau kita akali), ke cara kita memperoleh dan menggunakan uang. Barulah kita bisa bicara tentang hidup yang benar-benar bersih.

Akhirnya, kita harus berani bertanya pada diri sendiri: lebih mudah mana, menolak sepotong ayam goreng yang digoreng dengan minyak babi, atau menolak segepok uang yang mengandung kebohongan dan ketidakadilan?

Dan kalau jawabannya yang pertama, maka barangkali bukan hanya makanan kita yang perlu dibersihkan. Tapi juga nurani kita.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS