Ad Hominem dan Seni Menyerang Tanpa Argumen

Oleh: Redaksi |

“Ad hominem” dalam bahasa Latin berarti “kepada orangnya.” Sekilas, istilah ini terkesan sopan, seolah mengarah pada pendekatan humanis. Tapi jangan terkecoh. Dalam konteks logika, ini bukan tentang menyentuh hati seseorang, melainkan menyentil identitasnya agar argumentasinya rontok… tanpa disentuh.

Bayangkan seseorang menyatakan, “Kebijakan subsidi BBM perlu ditinjau ulang karena anggaran negara makin defisit.” Lalu lawannya menjawab, “Ah, kamu kan cuma anak kos yang gak ngerti ekonomi.” Maka, telah terjadi sebuah seni menyerang: bukan pada premis atau logika, tapi pada posisi sosial si penutur.

Ini seperti kamu mengkritik teknik memasak, lalu dibalas, “Kamu itu jomblo, diam saja!” Padahal, status pernikahanmu tidak ada hubungannya dengan tingkat kematangan ayam goreng.

Yang sering rancu adalah: kapan penghinaan itu masuk kategori ad hominem, dan kapan ia hanya sekadar ketidaksopanan biasa?

Mari ambil contoh ini:

“Dasar goblok. Alasan yang kamu pakai sudah ditinggalkan sejak dekade lalu oleh para ahli. Sekarang kita tahu bahwa…”

Secara etika, tentu ini tidak akan menang penghargaan komunikasi paling santun. Tapi secara logika, ini tidak termasuk ad hominem. Kenapa? Karena meskipun dibuka dengan makian, pernyataan itu mengandung bantahan substantif. Ia menyerang argumen, bukan hanya orangnya.

Dalam konteks ini, makian adalah garnish pedas, bukan bahan utama. Argumennya tetap ada. Logikanya tetap bergerak. Ibaratnya kamu di Warung Makan, lapar, kamu tetap bisa makan meskipun makananmu diantarkan dengan caci maki.

Sebaliknya, pernyataan seperti:

“Udah deh, kamu masih SMA, belum waktunya ngomong politik.”

adalah ad hominem sejati. Argumenmu tidak dibantah, tapi kamu sebagai manusia yang dibatalkan. Usia, status, atau asal usulmu dijadikan dalih untuk menutup dialog. Ini bukan debat; ini pengusiran halus dengan kedok keangkuhan.

Dalam banyak diskusi, ad hominem bukan sekadar sesat pikir. Ia adalah alat kekuasaan. Saat seseorang disingkirkan dari wacana karena identitasnya, entah karena dia terlalu muda, miskin, minoritas, atau tak punya gelar, itu bukan sekadar salah logika, melainkan cara halus menyingkirkan lawan tanpa kerja keras berpikir.

Filsafat mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak berpihak pada siapa yang menyampaikan, melainkan pada argumen itu sendiri. Socrates tidak kaya, tidak berkuasa, bahkan sering membuat orang marah. Tapi ia terus bertanya. Dan dalam pertanyaan-pertanyaannya itulah kebenaran diuji.

Jika kebenaran hanya boleh keluar dari mulut orang yang tua, kaya, atau punya gelar, maka sejarah umat manusia akan kehilangan banyak percakapan penting. Tidak akan ada Galileo, karena ia bukan pejabat gereja. Tidak ada Kartini, karena ia hanya perempuan muda di zaman patriarki.

Kita tentu tidak sedang membela makian dalam debat. Hinaan tetap hinaan. Tapi perlu dibedakan antara orang yang tidak sopan tapi masih bernalar, dan orang yang sopan tapi menyingkirkan lawan tanpa logika.

Kadang, kata-kata halus bisa menyesatkan lebih tajam ketimbang makian terang-terangan. Seorang pejabat yang berkata, “Kritik anak-anak muda tentu kita dengar, tapi kita yang lebih paham lapangan,” terdengar santun, padahal diam-diam sedang menjalankan ad hominem: menyapu argumen berdasarkan umur dan pengalaman yang (konon) lebih panjang.

Ad hominem adalah bentuk kemalasan berpikir yang menyamar sebagai kepintaran. Ia adalah serangan personal yang dikira kemenangan logis. Padahal, menyerang argumen jauh lebih sulit ketimbang menyerang KTP lawan bicara.

Ad hominem bukan hanya kesalahan berpikir, tapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita dialog: bahwa dalam diskusi, yang kita uji adalah ide, bukan identitas.

Menyanggah argumen lawan boleh, bahkan harus, jika ada yang perlu diluruskan. Tapi mari lakukan itu dengan akal sehat, bukan dengan menyerang latar belakangnya. Sebab jika kita terus mengukur bobot kebenaran dari status pembicara, maka kita sedang menutup pintu terhadap kebijaksanaan yang bisa datang dari mana saja. Termasuk dari warung kopi. Termasuk dari anak muda. Termasuk dari orang yang, meski kadang kasar, sebenarnya sedang mengajak kita berpikir.

Jadi lain kali, saat berdiskusi, dan lawanmu berkata: “Kamu siapa sih?” Kamu boleh jawab dengan tenang: “Saya bukan siapa-siapa. Tapi argumen saya bisa diuji tanpa harus jadi siapa-siapa.”

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS