Anggota Dewan Ngeluh Karena Utang, Rakyat Ngelus Dada

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi

OPINI,— Ironis, di tengah sorotan publik terhadap kemiskinan struktural rakyat, justru keluhan datang dari mereka yang disebut “wakil rakyat”, yap! anggota DPRD. Bukan karena mereka ditangkap KPK, tapi karena mereka banyak utang. Iya, utang. Bukan buat bangun rumah yatim, bukan juga buat modal koperasi desa. Tapi untuk gaya hidup dan ongkos politik yang katanya “sudah terlanjur.”

Fenomena ini bukan baru kemarin sore. Tapi belakangan makin ramai dibicarakan setelah sejumlah anggota DPRD terang-terangan ngeluh, entah di ruang sidang, di warung kopi, atau di ruang publik digital. Mereka mengaku hidupnya berat, terlilit cicilan, hingga ada yang harus ngobyek alias cari sampingan. Luar biasa. Mungkin kita harus segera bikin Lembaga Amil Utang Wakil Rakyat.

Sebagian dari mereka memang datang dari rakyat. Tapi begitu kursi empuk diterima, rakyat langsung dilepas, diganti dengan lifestyle ala selebritas. Jas branded, parfum Paris, jam tangan Swiss, mobil mewah yang harga servisnya bisa buat nyicil rumah subsidi. Saat duduk di DPRD, gaya hidup melonjak, sementara integritas seringkali nyungsep di bawah tumit Gucci.

Yang jelas, rakyat jadi tahu bahwa ternyata jabatan bukan cuma panggung pengabdian, tapi juga bisa jadi jebakan finansial bagi mereka yang tak kuat iman dan mental.

Ada yang bilang, mereka ini korban sistem politik yang mahal. Benar. Tapi kalau sejak awal sudah tahu ongkos politik setinggi gunung Semeru, kenapa tetap maksa naik? Bahkan sampai ambil utang sana-sini?

Kalau rakyat boleh jujur, banyak dari mereka yang ngeluh utang ini justru tak dikenal rekam jejaknya saat benar-benar membela rakyat. Tak banyak yang tahu bagaimana suaranya saat sidang, apalagi aksinya di luar forum. Tapi ketika bicara soal kesulitan ekonomi pribadi, eh, tiba-tiba jadi vokal sekali. Luar biasa.

Sebenarnya, ini bukan soal besar kecilnya gaji. Ini soal ketamakan, pengelolaan diri, dan moral publik. Kalau masih ingin melayani rakyat tapi tak bisa mengelola diri, mungkin sudah saatnya mereka istirahat. Biar nggak makin repot, dan rakyat juga nggak makin kecewa.

Rakyat juga banyak yang terlilit utang. Tapi tak punya panggung untuk curhat. Mereka ngutang bukan buat gengsi, tapi buat nyambung hidup, bayar sekolah anak, beli beras, atau biaya berobat. Mereka tak bisa merengek ke media. Mereka diam. Tapi terus jalan. Maka ketika mendengar wakilnya mengeluh soal utang karena gaya hidup dan ambisi politik, rakyat hanya bisa bilang: “Coba hidup jadi kami seminggu. Kalian kuat nggak?” 

Sebagai rakyat, kita tentu bisa punya empati. Tapi bukan berarti harus permisif. Wakil rakyat harus belajar hidup secukupnya. Jika tidak bisa hidup sederhana, jangan cari kambing hitam pada sistem. Karena keserakahan dan gaya hidup adalah pilihan, bukan takdir. 

Jika kursi kekuasaan tak lagi jadi alat pengabdian, tapi jadi panggung penderitaan finansial pribadi, maka mungkin sudah waktunya mereka melepasnya. Kita tidak butuh wakil rakyat yang sok ngeluh soal hidup yang empot-empotan, karena rakyat sudah terlalu sering dibuat ngos-ngosan.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS