Film Horor, Promosi Wisata, dan Kebodohan Kolektif Bersponsor

Oleh: Redaksi |

OPIN, — Di negeri yang meyakini wangsit lebih sakti dari riset, dan percaya bahwa suara kodok menandakan datangnya malaikat atau sial, film horor bukan sekadar hiburan, ia seolah menjelma wahyu baru. Disambut seperti kitab suci yang menyingkap rahasia gaib, lalu dijadikan alat promosi wisata, lengkap dengan banner “Welcome to Desa Angker, Tiket Masuk Rp10.000, Gratis Kerasukan”.

Mari sejenak kita tarik napas dan nalar.

Film horor memang laris. Tiketnya habis, topiknya viral, bahkan kadang lebih heboh dari debat capres. Tapi saat film yang sejatinya fiktif dijadikan fondasi pariwisata, kita perlu bertanya, apa yang sedang kita jual? Imajinasi, atau ilusi? Ketakutan, atau kebodohan kolektif yang dikemas manis?

Film horor sering kali memakai latar tempat yang “katanya” angker. Hutan yang katanya pernah jadi tempat pesugihan. Rumah tua yang katanya dihuni noni Belanda korban cinta. Goa yang katanya bisa membawa ke alam gaib kalau baca mantra tertentu.

Lalu tempat-tempat ini dikunjungi. Karena penasaran, karena tren, atau karena berharap konten TikTok-nya viral. Sementara pemerintah daerah, yang haus pemasukan, menyambut antusias, plang nama dipasang, spot selfie dibikin, bahkan juru kunci dadakan direkrut. Tapi yang tidak disiapkan adalah logika.

Kita sedang membangun ekonomi berbasis eksploitasi ketakutan. Bukan rasa ingin tahu yang ilmiah, tapi rasa penasaran yang kabur antara spiritual dan clickbait. Wisata mistis berkembang, sementara wisata edukatif terseok. Jangan heran ketika kemudian anak-anak lebih hafal legenda hantu ketimbang pasal-pasal HAM.

Mengangkat kearifan lokal itu penting, iya. Tapi ketika takhayul dilestarikan tanpa diproses dengan akal sehat, maka yang kita wariskan adalah mata rantai kebodohan. Film horor yang membesarkan citra mistik suatu daerah justru berpotensi mengabadikan pandangan dunia yang tidak kritis.

Alih-alih mengenalkan sejarah, geologi, atau budaya secara rasional, kita menyuapi penonton dengan cerita hantu penunggu batu. Kita membangun narasi bahwa daerah ini istimewa karena seram, bukan karena cerdas. Tak heran jika akhirnya masyarakat lebih percaya “angker” sebagai alasan kemiskinan, ketimbang struktur ekonomi yang timpang. 

Wisata mistik tak hanya menjual tempat, tapi juga membungkus ketakutan sebagai identitas lokal. Ini problematis. Karena lama-lama, tak hanya rumah yang jadi horor, tapi cara berpikir kita juga.

Promosi wisata tak harus meninggikan mistik. Kita bisa menjual sejarah tempat, ekologi alam, narasi antropologi. Tapi itu semua perlu kerja lebih keras, lebih sabar, lebih ilmiah. Sayangnya, film horor menawarkan jalan pintas, cukup bikin mitos, bikin takut, bikin penasaran.

Dan kita, sebagai bangsa yang gampang baper dengan hal-hal gaib, sering kali terjebak di dalamnya. Kita lupa bahwa kemajuan peradaban dibangun oleh akal, bukan arwah. Bahwa rasa ingin tahu harusnya membawa ke ruang terang, bukan ke lorong gelap yang diisi suara “ssssttt… jangan bicara di sini… tempat ini keramat…”

Promosi wisata dengan film horor bisa jadi strategi cerdas, asal tidak membodohi. Tapi jika yang dipromosikan adalah gelapnya pikiran, bukan kekayaan pemahaman, maka yang datang bukan wisatawan, melainkan para pewaris logika lama, logika takut, logika tunduk, logika takhayul.

Jangan sampai, sibuk menjual angkernya desa, hingga lupa membangun akarnya nalar.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS