![]() |
Ilustrasi Telat Bangkit dari Kasur di Hari Kebangkitan |
Tapi dari situ saya merenung: apa sebenarnya makna “bangkit”? Apakah sekadar berdiri dari kasur sambil membuka WhatsApp dan melihat pesan “Selamat Harkitnas!” dari grup alumni SD yang isinya sudah tidak relevan selain saat iuran reunian? Ataukah bangkit itu adalah kondisi eksistensial yang lebih dalam, sebuah panggilan untuk menyadari bahwa hidup ini lebih dari sekadar scroll TikTok sambil makan mie instan?
Bangkit Itu Berat, Kamu Tidak Sendirian
Mari kita lihat sejarah. Tahun 1908, lahir Boedi Oetomo. Sebuah organisasi yang didirikan oleh anak-anak muda cerdas, yang pada zamannya mungkin bisa kita anggap sebagai startup sosial politik pertama di Nusantara. Bedanya, mereka nggak sibuk bikin konten giveaway atau ngincer endorse skincare. Mereka jualan ide: kesadaran nasional, persatuan, dan pendidikan.Bayangkan jika para pendiri Boedi Oetomo itu bangun kesiangan, mungkin sejarah kita akan tertunda satu dekade. Mungkin mereka akan diskusi pukul 2 siang sambil ngopi, lalu bubar karena keburu magrib. Tapi tidak. Mereka bangkit di tengah tekanan kolonial, di tengah keadaan tidak nyaman, dan tanpa sinyal 4G.
Bangkit Dalam Versi Kekinian
Di zaman sekarang, bangkit tidak selalu harus dalam bentuk revolusi berdarah. Kadang, bangkit itu adalah ketika kita berani keluar dari comfort zone, walau zonanya AC 16 derajat dan kasur empuk. Bangkit itu ketika kita memilih membaca buku, ya minimal baca situs ngauris…ehm, bukan cuma lihat reels. Bangkit itu saat kita berani tidak ikut arus kebodohan kolektif hanya demi dianggap gaul.Bangkit itu juga saat kita sadar bahwa menjadi warga negara bukan cuma soal update foto 17-an dengan caption “NKRI Harga Mati”, tapi juga ikut nyumbang ide, kritik, dan tenaga untuk membangun negeri, meski hanya lewat tulisan opini yang ditulis telat karena bangun siang. Duh.
Filosofi Bangkit: Sebuah Tafsir Semi-Santai
Secara filosofis, bangkit adalah proses menyadari potensi yang tertidur dalam diri. Kita semua punya benih perubahan dalam diri masing-masing. Tapi benih itu tidak akan tumbuh kalau disiramnya pakai alasan: “Saya malas karena cuaca.” “Saya gagal karena sistem.” “Saya belum sukses karena zodiak saya memang lagi kurang hoki.”Padahal, Kalau kita terus tidur, mimpi pun lama-lama bosan datang.
Bangkit bukan tentang seruan heroik dengan bendera dan mars. Kadang, bangkit itu cukup dengan mematikan snooze alarm dan bilang: “Hari ini saya tidak mau jadi beban kasur.” Itu langkah kecil, tapi kalau dilakukan jutaan orang, dampaknya bisa lebih besar dari program kementerian.
Harkitnas dan Harapan Bangsa yang Mengantuk
Hari Kebangkitan Nasional bukan cuma monumen sejarah. Ia adalah panggilan batin, walau datangnya kadang kesiangan. Kita mungkin bukan Soetomo atau Tjipto Mangunkusumo. Tapi kita bisa jadi orang biasa yang memilih untuk tidak diam, dan tidak cuma jadi penonton di tengah panggung republik yang semakin absurd.Jadi, mari kita rayakan Harkitnas tahun ini dengan cara paling sederhana: bangun, sadar, dan mulai bergerak, walau dari tempat tidur. Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa pahlawan, tapi juga bangsa yang tahu kapan waktunya bangkit dan kapan waktunya tidur siang.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional. Jangan lupa minum air putih dan hidupkan niat sebelum alarm kedua berbunyi.