![]() |
Luhut Bisar Pandjaitan | Wikipedia |
NGAURIS.COM, JAKARTA,- Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), kembali melontarkan pernyataan tegas yang kali ini menyentil isu panas tentang Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam pernyataan yang dirilis di Balai Kartini, Jakarta, pada Selasa (6/5/2025), Luhut menyampaikan pesan keras kepada pihak-pihak yang menuntut pencopotan Gibran dari jabatannya. “Iyalah harus taat, kalau kau tidak taat konstitusi jangan tinggal di Indonesia,” katanya, seraya menegaskan pentingnya kesetiaan pada konstitusi negara.
Namun, ketika Luhut berbicara tentang konstitusi, sepertinya kita perlu bertanya: apakah Gibran benar-benar mengerti pentingnya kesetiaan itu? Mengingat desakan Forum Purnawirawan TNI-Polri yang menggugat pencopotan Gibran, semakin banyak orang yang mempertanyakan apakah dia memang memenuhi kriteria kepemimpinan yang layak untuk Indonesia. Gibran lebih sering terlihat sebagai simbol politik ketimbang pemimpin yang benar-benar kompeten. Di saat negara membutuhkan pemimpin yang tegas dan berintegritas, kehadiran Gibran justru lebih sering menuai pertanyaan besar.Luhut juga mengingatkan, jangan sampai Indonesia terpecah belah oleh kekuatan luar. “Jangan sampai Indonesia dipecah belah oleh kekuatan asing,” lanjutnya, menegaskan kembali bahwa di tengah perpecahan global, stabilitas nasional harus tetap dijaga dengan sebaik-baiknya. Tapi, apakah Gibran cukup mampu untuk menjaga itu semua, atau malah justru menjadi bagian dari perpecahan yang tidak diinginkan?
Pernyataan Luhut ini seolah mengundang kita untuk merenung lebih jauh. Tidak hanya soal loyalitas terhadap konstitusi, tetapi juga soal siapa yang benar-benar pantas memimpin negara ini ke depan. Gibran, dengan segala status politiknya, sepertinya belum menunjukkan kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia di masa kini. Tuntutan Forum Purnawirawan TNI-Polri, yang terdiri dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel, untuk mencopot Gibran semakin mempertegas fakta ini.
Forum tersebut juga meminta reshuffle kabinet dan tindakan tegas terhadap menteri-menteri yang terlibat dalam kasus korupsi, serta perlunya menata ulang posisi-posisi strategis yang sudah terlalu lama dikuasai oleh mereka yang terkesan hanya loyal kepada Presiden Joko Widodo. Dengan sejumlah tokoh besar seperti Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi dan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno yang turut mendukung tuntutan ini, apakah Gibran sudah layak berada di puncak kekuasaan? Ataukah justru sudah saatnya dia disingkirkan demi kesejahteraan dan kesatuan bangsa?
Luhut, meski berusaha keras menjaga kesatuan, nampaknya tidak bisa menutupi kenyataan bahwa kepemimpinan Gibran harus dipertanyakan. “Ya iya makanya itu, siapapun dia jangan sampai bisa dipecah belah dengan keadaan dunia seperti sekarang. Ingat Presiden sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas,” katanya. Dan dengan nada yang semakin tegas, Luhut menambah, “Jangan kamu juga ikut menjadi bagian memecah belah. Dengar itu.”
Namun, di tengah semua perdebatan ini, satu hal yang jelas: kita semua harus berhati-hati dalam memilih pemimpin. Karena jika tidak, kita mungkin hanya akan terjebak dalam siklus ketidakpastian yang tak kunjung selesai. Jadi, apakah Gibran benar-benar layak? Atau justru kita butuh perubahan lebih besar dari sekadar reshuffle kabinet? Pertanyaan itu, seperti biasa, hanya bisa dijawab oleh waktu dan kesadaran kolektif bangsa. (Red)