![]() |
Ilustrasi Anjing |
Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa, umpatan “Asu” muncul ketika ketertiban sosial dan moral terganggu, sekecil apa pun bentuknya. Cicak jatuh ke piring saat kita makan? Asu. Kucing nyolong lauk padahal baru saja dikasih sisa nasi? Asu. Bahkan saat sandal kita hilang di masjid, tanpa tahu siapa pelakunya, tetap Asu yang seringkali jadi tersangkanya.
Bahasa Umpatan sebagai Refleksi Kekuasaan
Secara antropologis, umpatan seperti “Asu” adalah bentuk resistensi terhadap ketidakseimbangan. Dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, dan hierarki, umpatan menjadi saluran “bocor”-nya tekanan batin. Di balik struktur masyarakat yang kelihatan halus dan penuh unggah-ungguh itu, orang Jawa tetaplah manusia biasa yang punya amarah, frustrasi, dan rasa muak. Tapi karena norma sosial tidak memberi ruang untuk ekspresi langsung terhadap kekuasaan (baik kekuasaan literal maupun kekuasaan simbolik), maka umpatan seperti “Asu” hadir sebagai katup pelepas.Ketika cicak jatuh ke piring saat kita sedang lapar-laparnya, kita tak bisa marah pada nasib. Maka kata “Asu” muncul untuk mewakili kekesalan yang tak bisa disalurkan pada objek yang logis. Demikian pula dengan kucing: ia bukan musuh, tapi perilakunya melanggar norma harapan kita. Maka, sekali lagi, “Asu” jadi medium perlawanan atas realitas yang tak sejalan dengan keinginan.
Asu sebagai Simbol Kekacauan
Dalam kepercayaan Jawa, dunia ini dibagi menjadi dua: tata (teratur) dan dur (liar). Kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang seimbang, penuh harmoni, tidak neko-neko. Tapi kenyataannya, kehidupan seringkali dur: liar, tak terduga, dan mengecewakan. Di sinilah “Asu” masuk sebagai penanda ketidakteraturan itu. Ia bukan sekadar anjing dalam arti biologis, tapi simbol dari apa pun yang tak bisa dikendalikan, tak tahu aturan, tak tahu tempat.Yang menarik, tidak hanya makhluk hidup yang bisa jadi “Asu”. Situasi bisa jadi “Asu”, sistem bisa jadi “Asu”, bahkan pikiran sendiri pun bisa disebut “Asu” ketika menjerumuskan kita ke dalam keputusan yang salah.
“Semua bisa jadi Asu”. Tentu ini bukanlah bentuk penghinaan terhadap anjing, tapi semacam pengakuan bahwa dunia ini kadang memang tidak adil, dan siapa pun atau apa pun bisa menjadi “Asu” ketika harapan tak terpenuhi.
Demikian pula dengan kucing yang mencuri lauk. Kucing adalah makhluk yang sering dipelihara, bahkan disayang. Tapi sekali ia mencuri, seketika ia berubah jadi Asu. Padahal, Asu tak hadir di situ. Tapi tetap ia yang kena.
Ini menandakan sesuatu yang lebih dalam: dalam budaya kita, umpatan “Asu” tidak selalu diarahkan pada si pelaku nyata. Ia diarahkan pada simbol ketidaksesuaian, pada kekacauan, pada kekecewaan yang tak punya tempat untuk pulang. Dan dalam setiap kekacauan, selalu ada yang jadi kambing hitam, dalam hal ini, Asu. Eh, ini jadinya kambing atau asu? Ah entahlah, Asu !
Ketika Asu Jadi Kambing Hitam
Saat kita tengah menikmati makan siang. Tiba-tiba, cepluk!, seekor cicak jatuh dari langit-langit rumah ke dalam piringnya. Padahal itu lauk terakhir. Tak ada yang bisa disalahkan. Langit? Angin? Tak mungkin. Maka cicak pun disebut “Asu”. Bukan karena ia berbuat jahat, tapi karena ia hadir di waktu dan tempat yang salah.Demikian pula dengan kucing yang mencuri lauk. Kucing adalah makhluk yang sering dipelihara, bahkan disayang. Tapi sekali ia mencuri, seketika ia berubah jadi Asu. Padahal, Asu tak hadir di situ. Tapi tetap ia yang kena.
Ini menandakan sesuatu yang lebih dalam: dalam budaya kita, umpatan “Asu” tidak selalu diarahkan pada si pelaku nyata. Ia diarahkan pada simbol ketidaksesuaian, pada kekacauan, pada kekecewaan yang tak punya tempat untuk pulang. Dan dalam setiap kekacauan, selalu ada yang jadi kambing hitam, dalam hal ini, Asu. Eh, ini jadinya kambing atau asu? Ah entahlah, Asu !
Akhir Kata: Asu sebagai Realitas Sosial
Tulisan ini bukan ajakan untuk jadi pemaki. Tapi ini adalah ajakan untuk jujur, bahwa dalam hidup akan ada banyak hal yang tidak sesuai rencana. Bahwa kadang, bukan siapa yang salah, tapi situasinya memang bikin sial. Dan di tengah kehalusan budaya Jawa yang penuh pengendalian diri, umpatan seperti “Asu” justru jadi oase: tempat melepas sesak, menertawakan nasib, dan menerima bahwa dunia ini kadang memang tidak masuk akal.Jadi, kalau suatu hari kita sedang duduk tenang, lalu cicak jatuh ke piring, kucing mencuri lauk, sahabat kita berkhianat, atau negara ini tidak berpihak padamu, kita boleh bilang satu kata: Asu !