Salah Tapi Ramai: Kuasa Viral Mengalahkan Akal

Oleh: Redaksi |

 

Freepict

Dulu, jadi salah itu memalukan. Jadi bego itu aib. Kalau ngomong sembarangan, ya siap-siap diketawain. Tapi itu dulu, zaman ketika orang masih takut salah, dan akal sehat masih dianggap kompas hidup. Sekarang, kita hidup di zaman baru: zaman ketika kesalahan adalah peluang. Salah, tapi rame? Itulah jalan ninja masa kini.

Hari ini, kesalahan bukan diluruskan, tapi dipromosikan. Asal rame, apa pun bisa dibenarkan. Orang bisa ngomong bumi datar sambil pakai jas formal dan wajah penuh percaya diri, dan anehnya, ada saja yang komentar, “Saya sudah curiga dari dulu, Kak.”

Kita sedang hidup di dunia di mana ketepatan logika kalah dari ketepatan algoritma. Kamu bisa ngaco total, asal kontenmu pas dengan selera kemarahan kolektif atau lucu dengan cara yang menyakitkan. Kebenaran bisa jungkir balik, tapi kalau kamu punya lighting bagus dan gaya ngomong yang teatrikal, semua akan percaya. Atau minimal, semua akan share, dan itu cukup.

Akal sehat sekarang seperti aplikasi lama yang jarang diupdate. Lebih banyak yang memilih pakai aplikasi baru: aplikasi keyakinan keras kepala. Karena kenyataannya, di medsos, orang yang yakin tapi salah lebih viral daripada orang yang benar tapi membosankan.

Ironis? Iya. Tapi juga sangat efisien. Di dunia ini, argumen logis kalah sama yang lucu, marah, atau menyedihkan. Nggak penting kamu paham isu atau enggak. Yang penting kamu punya ekspresi pas, caption penuh luka, dan tentu saja komentar dramatis dari followers yang sama bingungnya.

Bahkan dalam debat publik, kita lebih percaya pada orang yang sering muncul di FYP daripada yang punya rekam jejak akademis. Kalau kamu bilang “itu tidak ilmiah,” netizen bisa balas: “Tapi saya merasakannya, Mas.” Karena, dalam sistem penilaian hari ini, perasaan pribadi adalah bukti yang sah.

Dan jangan lupakan satu elemen penting: engagement. Salah satu strategi paling ampuh untuk naik daun adalah… salah. Salah besar. Salah total. Salah yang bikin orang geram dan ngetik komen panjang.

Karena di platform sosial media, komentar marah punya nilai komersial. Jadi, semakin kamu dibenci, semakin kamu dilihat. Dan semakin kamu dilihat, semakin kamu bisa monetize kebegoanmu.

Kita semua ikut andil dalam ini. Kita tahu itu salah, tapi kita klik juga. Kita ngetawain, kita repost, kita react. Kita bilang, “Gila nih orang,” tapi diam-diam kita senang, karena dalam dunia yang makin absurd, menertawakan orang salah jadi semacam hiburan spiritual.

Akhirnya, pertanyaan penting di era ini bukan lagi “Apakah ini benar?” tapi “Apakah ini cukup rame buat dishare?”

Dan di tengah badai viral yang absurd ini, akal sehat mungkin hanya tinggal penonton. Duduk diam di pojok ruang tunggu, sambil main Sudoku, menunggu zaman waras datang kembali.

Tapi sepertinya, kita belum ingin waras. Kita masih menikmati sensasi dunia yang salah tapi ramai. Karena ternyata, lebih gampang viral daripada benar.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS