Preman: Dari Vrijman ke Franchais Kekuasaan

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi Preman: Dari Pahlawan Jalanan ke Tamu Tak Diundang Demokrasi
Kata preman dulu tidak selalu seburuk sekarang. Di era kolonial, “preman” justru punya makna heroik, setara pejuang jalanan. Tapi seperti banyak hal di republik ini, yang dulu harum bisa mendadak bau, tergantung siapa yang pegang mic dan siapa yang dikasih seragam.

Preman: Awalnya Pemberani, Bukan Pemalak 

Kita mulai dari asal-usul katanya. Konon, istilah preman diserap dari kata Belanda: vrijman, yang berarti orang merdeka, bukan budak, bukan pegawai, tapi manusia bebas (meski kadang terlalu bebas). Vrijman ini biasanya adalah rakyat kecil yang mandiri, kadang terlibat dalam urusan keamanan kampung, kadang ikut gerakan bawah tanah lawan kolonial. Jadi, preman dulu itu kayak freelance revolutionary.

Waktu itu, preman bukan sekadar tukang parkir atau penarik pungli, tapi semacam pejuang swadaya. Nggak digaji negara, tapi rela pasang badan jaga kampung, ikut perlawanan, dan bikin resah penjajah.

Dari Jaga Kampung ke Jaga Kekuasaan

Masuk era Orde Baru, makna preman mulai berubah. Banyak yang tadinya tukang jaga kampung, dipelihara kekuasaan jadi “jaga stabilitas”. Preman digandeng untuk bubarin demo, jagain proyek, dan kadang ikut jadi alat tekan bagi yang terlalu kritis. Negara kayak outsourcing kekuasaan ke jalanan.

Di masa ini, preman bukan lagi sekadar bebas, tapi bebas sepanjang nurut. Preman dilatih taat bukan pada hukum, tapi pada yang punya proyek.

Inilah masa ketika ormas-ormas “kemasyarakatan” menjamur, dan sebagian jadi organisasi kemauan atasan. Ada ormas yang tugasnya ngatur lalu lintas lokal, ada yang tugasnya jagain tiang bendera, asal jangan bendera lain.

Era Reformasi: Preman Jadi Franchise

Reformasi datang, tapi bukan berarti preman hilang. Justru makin decentralized. Preman bukan hanya ada di terminal dan pasar, tapi juga di level politik lokal. Ada preman proyek, preman tambang, preman politik, preman spiritual yang jualan surga, bahkan preman digital, yang doyan doxing dan ancam-ancam di kolom komentar.

Preman kini bukan cuma soal fisik, tapi juga algoritma. Dulu ngatur jalan, sekarang ngatur narasi. Dan yang paling ironis: preman modern sering pakai seragam. Kadang ormas, kadang relawan, kadang komunitas. Tapi perilakunya sama: narik iuran, ngatur-ngatur, dan selalu datang “atas nama keamanan”.

Di tengah maraknya fenomena di atas, Pemerintah luncurkan ide bikin Satgas Anti-Preman, yang katanya mau bersihkan jalanan. Tapi di tengah seribu tim khusus yang sering tumpang tindih, kita bingung, apa benar negara mau lawan preman, atau jangan-jangan preman sudah jadi bagian dari sistem itu sendiri?

Kalau preman dilarang nagih pungli, tapi boleh nagih “izin ormas”, lalu bedanya apa? Di sinilah makna preman makin absurd. Dari orang merdeka, jadi orang yang dimerdekakan buat mengatur rakyat lain. Dari simbol perlawanan, jadi alat kekuasaan. Dan kini, kita hidup dalam dunia di mana preman harus diberantas, oleh negara yang dulunya memelihara mereka.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS