Pengkultus Pejabat dan Kematian Nalar

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi Pengkultus Pejabat dan Kematian Nalar
Kita hidup di negeri yang punya segalanya: laut yang luas, gunung yang megah, dan warga yang luar biasa royal dalam membagi pujian, terutama kepada pejabat. Bayangkan, ada jalan baru dibuka, pasar direnovasi, atau gapura desa dicat ulang sedikit, langsung ramai warga mengunggah: “Terima kasih Bapak Pejabat! Jasa-jasamu tak tergantikan, patut diacungi jempol”

Yang bikin bingung, apakah memang rakyat kita ini sangat pemurah dalam pujian, atau memang sedang mengalami apa yang disebut filsuf kritis: mati nalar?

Mari kita pelan-pelan urai.

Antara Kerja dan Kewajiban

Pertama-tama, mari luruskan satu hal mendasar: pejabat publik bekerja itu bukan hadiah, tapi kewajiban. Ia digaji, dan gajinya bukan receh. Bahkan fasilitasnya bisa bikin pegawai swasta kelas menengah nangis di pojokan. Rumah dinas, kendaraan, sopir, tunjangan, uang makan, uang bensin, uang duduk, uang jalan, kadang uang ngopi juga ada. Jadi, ketika mereka bekerja, itu bukan pengorbanan, itu bagian dari kontrak jabatan.

Tapi anehnya, ketika ada satu-dua pekerjaan dilakukan dengan baik, masyarakat seperti melihat keajaiban. Seolah ini mukjizat yang patut disembah. “Lihat, Pak Camat bisa bangun taman!”

Padahal duitnya bukan dari dompet Pak Camat. Itu duit rakyat. Duit kita semua. Bahkan duit orang yang waktu pemilu kemarin milih calon lawan.

Hutang Kolektif, Bukan Prestasi Pribadi

Kalau pembiayaan proyek itu pakai utang, siapa yang bayar? Apakah pejabat itu mencicil sendiri dari gaji pribadinya? Tentu tidak. Yang bayar tetap kita semua. Anak kita, cucu kita, bahkan mungkin cicit kita nanti.

Tapi narasi yang berkembang kadang seperti ini: “Bapak A sangat berjasa membangun flyover penghubung tiga kecamatan.”

Padahal pembangunannya dibiayai dari pinjaman, dikembalikan pakai APBD lima tahun ke depan. Yang bayar? Ya kita semua, kecuali alien.

Masalahnya adalah, sebagian rakyat terlalu romantis. Mereka membayangkan pejabat sebagai orang yang berjuang tanpa pamrih demi warganya. Seolah tiap malam pejabat itu terjaga memikirkan kita: “Bagaimana kabar Bapak Suroto di dusun barat? Sudah ada penerangan jalan belum?” 

Padahal bisa jadi lagi mikirin tender mana yang bisa dikejar bulan ini.

Tentu, tidak semua pejabat seperti itu. Ada yang benar-benar niat dan tulus. Tapi niat baik tetap harus dikawal akuntabilitas. Niat baik tanpa pengawasan bisa melahirkan proyek asal-asalan, jalan cepat rusak, jembatan ambruk, atau anggaran hilang.

Kultus Itu Mematikan Akal

Kata Tejo, kawan tongkrongan yang sering ngopi sambil baca buku filsafat bekas, “pengkultusan itu mematikan nalar.” Dan Tejo benar.

Kultus membuat kita buta terhadap kegagalan. Kita jadi susah mengkritik karena sudah terlanjur cinta. Ketika pejabat salah, kita cari pembenaran. Kalau benar, kita puja-puja seperti nabi.

Harapan Baru: Waras Kolektif

Bayangkan kalau warga mulai waras. Mulai bisa bilang:

“Terima kasih, Pak. Sudah menjalankan tugas dengan baik. Tapi kami tetap akan awasi, karena kekuasaan itu godaannya berat. Kalau Bapak kepleset, kami siap mengingatkan.”

Itu baru warga yang merdeka.

Karena sebenarnya, pejabat yang sehat juga butuh rakyat yang waras. Supaya kerja mereka relevan, tidak melulu sibuk pencitraan. Supaya mereka tak terjebak ilusi sebagai pahlawan tunggal dalam kisah rakyat yang seharusnya kolektif.

Jangan Terlalu GR

Jadi, buat kita semua yang suka kegeeran dikira diperjuangkan oleh pejabat, maaf ya, nggak segitunya. Mereka kerja buat karier, buat keluarga mereka juga. Sama seperti kita. Yang membedakan hanya satu: mereka dibayar dari duit kita. Dan itu cukup alasan untuk kita bersuara, bukan bersembah pujian.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS