![]() |
Ilustrasi Pengakuan Mahasiswa KIP-K: “Aku Tahu Ini Salah, Tapi Gengsi Juga Lapar” |
“Aku tahu ini salah, tapi gengsi itu lapar juga, mas”
Begitu kalimat pertama keluar dari mulut “D”, mahasiswa salah satu kampus di Pacitan yang menerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK). Menurut pengakuannya, usianya masih 20-an, anak petani yang penghasilannya kadang cukup, seringnya pas-pasan.
KIPK yang sejatinya diberikan untuk menunjang biaya kuliah dan hidup layak sebagai mahasiswa dari keluarga tidak mampu, malah jadi bahan bakar performa sosialnya. “D” dengan jujur mengakui, di antara teman-temannya yang juga penerima KIP, ada semacam “kompetisi diam-diam”.
“Lucune, awake dewe padha ngerti nek sakjane padha-padha mlarat. Ning, yen siji tuku iPhone seken, liyane melu-melu. Enek sing sak wulan mung mangan mie instan ben iso nongkrong nang kafe mung ben iso gawe story.” Ungkap “D”
(“Lucunya, kami saling sadar kalau sama-sama miskin. Tapi, kalai yang satu beli iPhone second, lainnya ikut-ikutan. Ada yang sebulan cuma makan mi instan demi bisa nongkrong di kafe cuma buat story-an.”)
Dana KIPK, yang harusnya bisa dipakai buat beli buku, bayar kos, atau beli paket data buat kuliah, seringkali malah lari ke hal-hal yang membuatnya “terlihat bukan orang susah”.
Dana KIPK, yang harusnya bisa dipakai buat beli buku, bayar kos, atau beli paket data buat kuliah, seringkali malah lari ke hal-hal yang membuatnya “terlihat bukan orang susah”.
“Padahal sakjane, aku tau nyilih duit nang konco mung kanggo tuku sabun, soale duite wis entek gawe tuku jaket keren.” katanya sambil menunduk.
(“Padahal kenyataannya, aku pernah pinjam uang ke temen cuma buat beli sabun mandi karena duit udah habis buat beli jaket keren.”)
Ia tahu semua ini keliru. Tapi baginya, ada tekanan sosial yang sulit dijelaskan. “Aku isin dianggep mahasiswa mlarat.” Imbuhnya.
(“Aku malu dianggap mahasiswa miskin”)
Ia tahu semua ini keliru. Tapi baginya, ada tekanan sosial yang sulit dijelaskan. “Aku isin dianggep mahasiswa mlarat.” Imbuhnya.
(“Aku malu dianggap mahasiswa miskin”)
*Narasi ini merupakan pengakuan nyata dari seorang mahasiswa penerima KIPK yang meminta agar identitasnya disamarkan dengan alasan keamanan dan kenyamanan pribadi.