Niat Bangun Pagi dan Gagalnya Eksistensi

Oleh: Redaksi |

 

Ilustrasi - Niat Bangun Pagi dan Gagalnya Eksistensi

Setiap malam, kita merencanakan dengan tekad bulat untuk bangun pagi. Di bawah selimut hangat, kita berjanji pada diri sendiri: “Besok pagi, aku akan jadi orang yang berbeda. Aku akan bangun lebih awal, menyambut hari, dan mengubah hidup.” Kemudian datanglah pagi yang sesungguhnya, alarm berdering, mata terasa seperti diikat beton, dan tubuh seakan berkata, “Tidak, terima kasih.”

Sungguh, begitulah hidup kita. Penuh dengan niat baik yang tertunda, seperti proyek-proyek besar yang terlupakan di tengah jalan. Apa yang terjadi dengan niat itu? Apakah kita sekadar makhluk yang lemah? Atau ini bagian dari absurditas eksistensial yang lebih besar, sebuah sindrom “hari esok yang lebih baik”?

Alarm Sebagai Penanda Kegagalan

Ada sesuatu yang begitu penuh harapan saat kita memencet tombol snooze di alarm. Seperti memberi kesempatan kedua pada diri kita untuk menjalani hidup yang lebih bermakna, “Oh, mungkin nanti aku bangun dengan lebih banyak energi dan niat.” Tapi kenyataannya, menekan tombol snooze adalah bentuk penghindaran yang penuh ironi. Kita lari dari takdir, seolah ada pilihan untuk mengatur ulang realitas dengan tidur sebentar lagi. Padahal, yang kita hindari justru adalah kenyataan bahwa hidup ini berjalan tanpa menunggu kesiapan kita.

Dalam filsafat eksistensial, ini adalah dilema klasik: waktu yang terus berlalu tanpa kita kendalikan. Sartre mungkin akan mengatakan bahwa kita hidup dalam “kebebasan yang menekan”, di mana kita punya kebebasan untuk memilih, tetapi sering kali memilih untuk menunda pilihan tersebut. Tidur lagi adalah bentuk pemberontakan terhadap eksistensi kita yang menuntut respons.

Pagi yang Terlewat, Hidup yang Terlambat

Begitu kita akhirnya bangun, dunia terasa begitu asing. Pagi yang diinginkan tidak ada. Mungkin, kita sudah berjuang dengan segala rutinitas, pekerjaan, kuliah, atau bahkan sekadar daftar to-do list yang tidak pernah habis, tapi pagi itu tidak pernah datang dengan cara yang kita bayangkan. 

Menghadapi pagi, seakan kita dihadapkan pada dua pilihan: berjuang untuk menjalani hidup dengan lebih baik atau membiarkan diri terjebak dalam siklus “mencoba lagi besok”. Dalam filsafat Heidegger, pagi bisa diartikan sebagai momen “keberadaan yang otentik”. Namun, kebanyakan dari kita, dengan penuh kesadaran, memilih untuk menunda otentisitas itu, terjebak dalam kebiasaan yang nyaman namun kosong.

Pagi yang kita rindukan sering kali adalah gambaran dari kebahagiaan yang kita anggap jauh, dan yang lebih sering kita kira ada di tempat lain. Padahal, kebahagiaan itu mungkin ada tepat di depan kita, di dalam secangkir kopi yang kita tangguhkan selama satu jam lagi.

Tidur sebagai Penghindaran Diri

Mengapa kita gagal bangun pagi? Bukankah tidur adalah salah satu hak dasar kita? Di satu sisi, tidur itu perlu. Itu adalah waktu untuk meremajakan tubuh dan pikiran. Namun, dalam konteks eksistensial, tidur juga bisa menjadi simbol penghindaran. Tidur adalah cara kita menangguhkan eksistensi, menghindari kenyataan yang kadang terlalu keras.

Bertahan dalam tidur yang nyaman, seakan kita melarikan diri dari panggilan hidup itu sendiri. Dalam pandangan Sartre, kita terus menghindari “kebebasan yang menekan” dengan memilih tidur daripada bertanggung jawab atas hidup kita. Pagi yang seharusnya menjadi panggilan untuk bertindak, malah berubah menjadi sekadar latar belakang dari kegagalan kita untuk memulai apa pun.

Apa yang Kita Cari dengan Bangun Pagi?

Pada akhirnya, bangun pagi lebih dari sekadar rutinitas. Ia adalah pencarian, pencarian untuk menjadi lebih baik, untuk memulai hari dengan semangat dan produktivitas. Namun, pada titik ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang pahit: apakah kita benar-benar siap untuk perubahan? Apakah eksistensi kita yang penuh kegelisahan ini siap menghadapi dunia begitu kita membuka mata?

Eksistensialisme mengajarkan kita bahwa hidup itu absurd. Semua niat baik, semua impian tentang pagi yang penuh potensi, adalah bagian dari perjuangan yang tidak pernah selesai. Bangun pagi bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal kesiapan mental dan psikologis untuk menghadapi hari, termasuk kekosongan dan kesia-siaan yang mungkin datang. Dalam hal ini, bangun pagi bisa jadi adalah bentuk perlawanan terhadap absurditas hidup itu sendiri.

Bangun dari Kegagalan, atau Bangun dari Tidur?

Jadi, kenapa kita gagal bangun pagi? Mungkin kita terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Mungkin kita masih mencari cara untuk membenarkan kenyataan bahwa kita tidak selalu siap untuk menjadi diri kita yang “terbaik”. Tapi di balik kegagalan bangun pagi itu ada pelajaran yang sederhana: kita tetap harus terus mencoba. Bangun pagi mungkin bukan kemenangan besar, tapi itu adalah langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi kita.

Siapa tahu, mungkin esok pagi adalah hari pertama kita bisa benar-benar bangun dengan semangat, dengan iman yang sedikit lebih kuat, meski cuma sedikit.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS