Coba cari “kantor polisi” di Google Maps. Saya yakin lokasinya jelas, foto-fotonya lengkap, bahkan kadang ada deskripsi singkat. Tapi satu fitur penting absen: tidak ada kolom ulasan. Kita tak bisa memberi bintang lima karena pelayanan ramah, apalagi bintang satu karena dipulangkan dengan kata “nanti kami kabari, ya Mas.”
Google yang begitu terbuka membiarkan kita menilai warung bakso, warteg, posyandu, bahkan kamar mandi SPBU tiba-tiba bungkam di depan kantor polisi. Alasannya? Katanya untuk mencegah “review bombing” atau komentar yang tidak relevan. Tapi sejujurnya, justru tempat-tempat seperti inilah yang paling layak mendapat penilaian publik, karena fungsinya memang untuk melayani publik.
Tentu tidak semua polisi buruk. Banyak yang benar-benar berdedikasi. Tapi dalam pengalaman warga, kadang muncul cerita tentang laporan yang lambat diproses, atau perkara yang diselesaikan secara “kekeluargaan” padahal mereka butuh kepastian hukum. Dalam masyarakat demokratis, kritik terhadap pelayanan semacam ini seharusnya tak hanya boleh tapi perlu.
Kritik itu bukan soal benci, tapi bentuk cinta yang menuntut perbaikan. Sama seperti ulasan buruk di Google bisa membantu pemilik warung bakso meningkatkan rasa kuah atau sambalnya, seharusnya penilaian publik terhadap institusi juga bisa jadi cermin untuk berbenah. Tapi sayangnya, cermin itu justru ditutup.
Menariknya, di sisi lain, akun-akun resmi aparat di media sosial justru sangat aktif. Video polisi menyeberangkan anak sekolah, membantu warga, bahkan berjoget bersama masyarakat banyak berseliweran di timeline kita. Ini positif, tentu. Tapi ketika kita ingin memberi tanggapan langsung di tempat resmi (baca: Maps), kok malah dilarang?
Sebagian warga menyebut fenomena ini sebagai gejala "parcok", istilah populer dan jenaka untuk menggambarkan kompleksitas dinamika antara masyarakat dan institusi berseragam coklat. Bukan untuk menghina, tapi karena publik kerap merasa tak punya saluran kritik yang aman dan terbuka.
Menonaktifkan fitur review mungkin dianggap sebagai cara menjaga “wibawa lembaga.” Tapi wibawa yang sehat justru lahir dari transparansi dan keterbukaan terhadap kritik. Membuka ruang ulasan publik bukan ancaman, justru itu cara terbaik menjaga kepercayaan.
Masyarakat tak meminta yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin ketika mengisi laporan kehilangan, tak ikut kehilangan harapan.