![]() |
Ilustrasi Gedung Inspektorat Kabupaten (bukan) Pakistan |
Pembangunan gedung pemerintahan, ternyata bukan soal ruang, tapi soal gengsi. Karena di republik ini, kadang kantor adalah simbol kekuasaan. Makin banyak lantainya, makin tinggi ego penghuninya.
Contohnya nih, di salah satu kabupaten di Jawa Timur (ngauris pura-pura lupa namanya), rencananya mau membangun kantor Inspektorat baru senilai Rp2,7 miliar. Bukan renovasi, bukan cat ulang. Tapi dari nol! Gedung lama mau dibongkar total. Seperti kisah cinta yang pahit, katanya harus dihapus sepenuhnya biar bisa mulai yang baru.
Padahal, di luar sana, jalan-jalan berlubang masih setia menanti tambalan. Ada lubang sebesar ember, ada juga yang ukurannya cukup buat masuk angkot separuh badan. Tapi apa daya, jalan berlubang itu kan tidak bisa diresmikan dengan tumpengan dan pita merah. Tidak bisa jadi background Instagram Bupati. Dan tentu saja, tidak bisa disorot media lokal dengan judul “Hebat! Lubang Jalan Akhirnya Ditambal Setelah 14 Tahun!”
Kita hidup di negara di mana kantor bisa lebih keren dari fungsinya. Gedung Dinas bisa seperti hotel bintang empat, tapi pelayanan tetap seperti warung fotokopian. Ada ruang tunggu ber-AC, ada meja resepsionis bermarmer, tapi warga tetap harus fotokopi KTP lima kali dan isi formulir pakai pulpen sendiri.
Kantor megah ini semacam oase di tengah kehausan logika. Bayangkan, anggaran pembangunan bisa menyentuh miliaran rupiah, sementara di pelosok desa-desa, banyak jembatan gantung yang dipakai anak-anak sekolah setiap hari masih terbuat dari kayu yang usianya hampir setara dengan pensiunan zaman kolonial.
Gedung Dulu, Jalan Nanti
Pembangunan gedung sering kali muncul dari logika yang tidak bisa ditolak, “Gedung ini sudah tua, tidak layak lagi.” Tapi pertanyaannya, apakah yang lama benar-benar sudah tidak bisa dipakai? Atau hanya tidak seindah Instagram kantor sebelah? Karena kalau soal umur, banyak rumah warga yang lebih tua dari kantor itu dan masih bisa dipakai buat tidur, makan, dan berantem.Ada juga yang bilang, “Gedung baru akan meningkatkan kinerja pegawai.” Ini argumen paling klasik sejak zaman Mesir Kuno. Padahal sejarah membuktikan, kualitas pelayanan publik tidak pernah berbanding lurus dengan jumlah lantai gedung. PNS malas tetap akan malas meski kursinya empuk. Sementara yang rajin akan tetap rajin walau mejanya cuma dari triplek.
Tapi ya begitulah, pembangunan gedung itu terlihat nyata. Ada bentuknya. Ada plakatnya. Bisa dipajang di banner dengan pose pejabat tersenyum sambil menunjuk ke arah bangunan. Coba kalau anggaran itu dipakai buat peningkatan pelayanan? Tidak bisa difoto. Tidak bisa diresmikan. Tidak bisa selfie.
Monumen Ego, Bukan Fungsi
Gedung-gedung pemerintah baru kadang jadi seperti monumen ego kolektif. Tidak sedikit yang dibangun hanya agar ada “warisan” pejabat sebelumnya. Bahkan, kadang gedung baru dibangun bukan karena ada kebutuhan, tapi karena ada dana. Serius. Seolah-olah APBD itu seperti uang pulsa yang kalau nggak dipakai akan hangus.Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba kantor camat punya bangunan sayap baru, padahal staf-nya cuma 8 orang dan pengunjung dalam seminggu bisa dihitung jari. Tapi toh gedung harus dibangun. Kenapa? Karena katanya, “Dana harus diserap.” Warga bingung, “Lah, yang diserap dana, kok yang kering kita?”
Kalau Akal Sehat Bisa Dilelang…
Barangkali memang yang paling butuh dilelang itu bukan proyek gedung, tapi akal sehat. Karena ketika gedung dibangun megah tapi jalan ke sana tetap rusak, yang dibangun itu bukan kesejahteraan, tapi absurdistan.Negara ini tidak kekurangan arsitek, tapi sering kekurangan logika. Kita pandai membangun fisik, tapi abai pada esensi. Kita gemar membuat ruang, tapi lupa isi. Kita cinta pembangunan, tapi tidak tahu apa yang harus dibangun.
Akhir kata, semoga suatu hari nanti, kita bisa lihat kantor pemerintah yang sederhana tapi fungsional. Jalan yang mulus walau tidak dipasang plakat. Pelayanan yang cepat tanpa harus berdandan seperti hotel. Dan pejabat yang sadar bahwa rakyat tidak butuh gedung mewah, cukup kebijakan yang masuk akal.
Tapi sampai hari itu tiba, mari kita nikmati dulu parade pembangunan gedung yang megah. Sambil tetap menghindari lubang di jalan. Dan lubang di nalar.