Membaca Kebangkitan Pendidikan Jungkat-Jungkit di Momen Kebangkitan

Oleh: Redaksi |
Penulis: Endro Wahyudi / Sunan Sumur

Membaca Kebangkitan Pendidikan Jungkat-Jungkit di Momen Kebangkitan

Analogi

Bung, saya ingin mengutip pencerahan guru SD kita yang mengampu mata pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa di era 1980-an. Atau yang lebih akrab disebut mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Perihal yang asyik dan menarik dari kenangan masa belajar kala itu adalah tumbuhnya era baru yang penuh dengan surplus jargon-jargon bangkit dan kebangkitan bangsa. Seperti halnya yang didengung-dengungkan melalui program pemerintah yang bernama REPELITA. Sssst…kalau hasil dari bisik-bisik orang-orang misterius kala itu, mengatakan bahwa Program REPELITA adalah program yang selalu diselimuti dengan senyum yang menakutkkan dari penguasa kala itu. Maka tak ayal, bagi para kaum penentang REPELITA, secara bisik-bisik pula telah membelokkan akronim REPELITA dari Rencana Pembangunan Lima Tahun menjadi Rencana Pembunuhan Lima Tahun. Beneran Bung?? Sssst….bisik-bisik saja lho.

Baiklah, soal aksi bisik-bisik, sebaiknya kita harus berhenti sejenak untuk membincangnya. Marilah kita mencoba kembali menengok guru SD kita waktu menyampaikan sejarah pergerakan kebangkitan nasional di era 1908. Ada yang asyik di kisah itu. Salah satunya yaitu ketika guru SD kita mampu mengekspresikan esensi dari gerakan kebangkitan nasional pada peristiwa di tahun 1908 tersebut dengan pola dialektis yang cantik. Ya, tentunya cantik di sini adalah kecantikan strategi pembelajarannya. Kekayaan pengetahuannya yang sungguh-sungguh. Bukan kecantikan rupa-rupa dan gerak-gerik sebab merk baju dinas dan bedak poles wajah dan lipstik genit yang bisa memoles kebodohan. Seperti polesan pak guru dan bu guru yang bergaya jungkat-jungkit, bung. Bukan. Sungguh bukan.

Ideologi

Tapi, ya sudahlah, memang sungguh beda. Buktinya, Guru SD kita itu mampu mendialetikakan makna sejarah dari materi kebangkitan nasional pada kisah di tahun 1908 itu. Padahal, kita tahu sumber dari satu-satunya sumber wajib dari rujukan negara yaitu buku serial 30 tahun Indonesia Merdeka. Ya, tentunya buku tersebut adalah buku yang diamini untuk mendulang kekuasaan penguasa. Jika sampai muncul buku penyanding sekaligus sebagai pembanding, ya jangan heran kalau kemudian akan muncul stigma makar yang tertempel di jidat. Bahaya laten. Atau sebutan apalah, yang pasti jika sampai kalian hidup di era itu dan tertuduh sebagai orang makar setidaknya jangan heran kalau tiba-tiba istrimu akan menyandang predikat janda dengan tiba-tiba dan anakmu akan memilki status baru sebagai anak yatim. Anehnya, meski begitu Guru SD kita kala itu mampu mengekspresikan materi pembelajaran itu dengan konteks yang paradoks terhadap isi materi kebangkitan Nasional.

Disampaikan, bahwa organisasi BOEDI OETOMO yang dipimpin oleh Dr.Sutomo adalah wujud kebangkitan kesadaran akan perlawanan organisasi apa saja terhadap penindasan harkat dan martabat manusia yang telah diselewengkan oleh penguasa yang sekaligus penindas. Nah! Hebatnya lagi, guru SD kita itu mampu lolos dari jeratan intimidasi penguasa berbirokrasi. Kok bisa? Ah, kalian ini, masih saja membangun pertanyaan yang bobotnya sekelas pecundang. Kenapa guru SD kita itu bisa lolos? Tidak lain sebab keberanian berpikir dengan akal sehat baginya adalah modal yang fundamental. Dan hal itu menurutnya akan melahirkan rasa kebangkitan kreativitas berpikir. Disitulah sebenarnya yang ingin ditanggalkan di otak generasi para penerus pendidikan oleh guru SD kita itu. Termasuk di sekolah-sekolah yang beroperasi di negeri suwung isine.

Kali ini di momen 117 kebangkitan bangsa, katanya, sekolah-sekolah akan meningkatkan perannya. Mengembangkan pola dengan jargon-jargon peningkatan mutu dan strategi pengembangannya. Salah satu upaya yang ingin dianggap konkret adalah memusatkan perhatiannya untuk menghasilkan produk lulusan yang mampu menguasai scientia. Dengan begitu, lembaga penyelenggara pendidikan ini berharap anak didik atau pelajar dari lulusan sekolah bisa bersaing dalam dunia global yang menjurus pada persaingan. Alhasil, tampak beberapa dari sekolah terjebak pada pola pembelajaran yang pragmatis. Pembekalan terhadap peserta didik akan sentuhan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan serta moral luhur sebagai warga negara kurang begitu dalam.Tak ayal, yang terjadi adalah kebangkitan pendidikan dengan jungkat-jungkit. Tahu kan yang dimaksud jungkat-jungkit? Suatu permainan yang ada di taman bermain anak yang berupa papan dan dinaiki oleh dua orang diantara dua ujungnya. ketika salah satu ujung naik, ujung satunya akan turun. Begitulah analogi dari kebangkitan Pragmatisme yang telah dipupuk di dunia pendidikan kita yang berakibat di satu sisi bangkit permukaannya tetapi di sisi lain tenggelam esensi dan substansi nilai dari orientasi ideologi pendidikannya.

Dampak dari lemahnya pembekalan dan pembelajaran nilai-nilai dari semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial dan nilai-nilai luhur oleh sekolah mengakibatkan terjadinya distorsi proses, distorsi mutu dan relevansi sosial. Akibatnya, harapan yang ingin dicapai dalam dunia pendidikan seperti yang disampaikan oleh Paulo Freire yaitu pendidikan sebagai wahana untuk menempa tumbuh kembang kualitas hidup manusia dalam peradaban menjadi kabur. Menghilang. Dan muncullah bayang-bayang program kegelapan berkedok pencerahan.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS