Medsos: Lapisan Sosial yang Bisa Diedit

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi Medsos: Lapisan Sosial yang Bisa Diedit
Di dunia nyata, stratifikasi sosial itu rumit. Tapi di media sosial, stratifikasi sosial bisa diedit, difilter, bahkan dicicil pakai paylater.

Kalau di kehidupan offline kasta ditentukan oleh tanah, warisan, dan posisi kerja, maka di dunia online cukup pakai sudut kamera, caption bahasa Inggris, dan satu-dua foto ngopi estetik di kafe yang sepi karena mahal.

Realitas yang Bisa Disensor

Media sosial adalah tempat di mana semua orang bisa jadi siapa saja, selama tidak difollow tetangga kontrakan. Yang di kehidupan nyata ngantor naik angkot, di Instagram-nya suka update story “mampir bentar” ke Bandara Soekarno-Hatta. Bukan karena mau naik pesawat, tapi karena ngantar orang dan sempat-sempatin selfie.

Ini bukan bohong, ini kurasi hidup. “Jangan nilai seseorang dari feed-nya, karena realitanya ada di galeri yang nggak pernah di-upload.”

Kasta Berdasarkan Engagement

Stratifikasi sosial digital ditentukan bukan oleh seberapa banyak properti yang dimiliki, tapi seberapa banyak like, follower, dan komentar dari verified account.

Orang dengan 100k follower lebih dianggap berpendapat daripada guru PNS dengan pengalaman 30 tahun.

Fenomena ini bikin filsuf eksistensialis menangis. Dulu Descartes bilang “Aku berpikir, maka aku ada.” Sekarang berubah jadi: “Aku viral, maka aku valid.”

Estetika Jadi Etika

Di dunia media sosial, estetika berubah jadi etika baru. Kalau fotomu pecah, backlight, atau angle-nya miring sedikit aja, kamu dianggap belum pantas masuk kasta online yang beradab.

Punya HP flagship tapi selfie masih blur? Duh, itu dosa sosial tingkat ringan. Posting foto kue ulang tahun di atas meja triplek? Maaf, kamu baru sampai kasta “netijen awam”, belum naik ke “citizen influencer”.

Kejujuran Dianggap Blunder

Anehnya, kalau kamu terlalu jujur, malah dianggap cari perhatian. Ngaku susah, dibilang “mainin mental health buat dapet simpati”. Ngaku senang, dibilang “pamer, sombong, nggak peka keadaan”.

Akhirnya, semua orang terjebak jadi karakter: sok lucu biar relatable, sok sedih biar dikasih perhatian, dan sok sukses biar dilamar brand. Padahal mungkin semua itu cuma karena nggak ada kerjaan dan kuota masih sisa.

Kesetaraan yang Semu

Di media sosial, semua orang bisa bersuara. Tapi tidak semua suara didengar. Akun dengan centang biru bilang, “Kita harus peduli UMKM,” padahal setiap hari endorse skincare dari Korea. Sementara akun yang beneran jualan gorengan di kolom komentar malah dikira spam dan dihapus sistem. Begitu egaliter sampai-sampai algoritma lebih peduli sama engagement daripada empati.

Dunia yang Bisa Diedit

Media sosial bukan mencerminkan kenyataan, tapi harapan. Harapan jadi lebih cantik, lebih kaya, lebih disukai, atau paling tidak, lebih terlihat berhasil dibanding mantan.

Tapi pada akhirnya, semua filter akan luntur juga saat paket data habis. Dan kita harus kembali ke dunia nyata, tempat tidak ada tombol “edit”, dan kasta sosial tidak bisa dibentuk dari likes.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS