Kursi Kosong dalam Demokrasi: Karena yang Duduk Sibuk Bikin Konten

Oleh: Redaksi |

 

Freepict

Di zaman dahulu kala, seorang pemimpin duduk di kursinya untuk mendengar keluhan rakyat, membuat kebijakan, dan sesekali ikut gotong royong. Tapi di zaman sekarang, duduk di kursi kekuasaan berarti duduk di studio mini lengkap dengan ring light, tripod, dan niat membuat konten dengan caption motivasi.

Kursi demokrasi kini tak lagi menjadi tempat mendengarkan. Ia berubah jadi latar belakang video, tempat orang membahas pentingnya pembangunan sambil lipsync lagu tren. Kantor pemerintahan bukan ruang publik, tapi set syuting yang eksklusif. Dan rakyat? Penonton pasif yang diminta like, share, dan komen: “Mantap Pak!”

Kita hidup di era ketika pejabat lebih takut FYP-nya sepi daripada APBD-nya bocor. Ketika prioritas bukan pada pengawasan anggaran, tapi pada pengawasan engagement rate. Ketika pidato resmi dibuat dengan efek slow motion dan backsound dramatis agar bisa dibagikan sebagai reels penuh haru.

Lucunya, semua ini dibungkus atas nama “transparansi.” Padahal yang ditransparankan cuma suasana makan siang dan video joget. Data anggaran, kebijakan gagal, atau suara rakyat yang menjerit, semua itu terlalu jelek buat algoritma.

Rakyat sebenarnya tidak minta banyak. Mereka cuma ingin wakilnya hadir di tengah masalah, bukan hadir di FYP dengan gaya bicaranya yang mirip vlogger dadakan. Tapi sayangnya, rakyat nggak punya tombol report.

Dan akhirnya, kursi kekuasaan memang tak benar-benar kosong. Kursinya diduduki. Tapi yang duduk tak lagi mendengar. Ia sibuk scroll komentar, edit konten, dan memastikan wajahnya cukup terang di kamera. Karena bagi mereka, jika tak terlihat, maka tak ada. Jika tak viral, maka tak penting.

Kursi itu masih ada. Tapi kosong, karena ruhnya pergi ke dunia maya.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS