Ketika Prinsip Bertabrakan dengan Perut Kosong

Oleh: Redaksi |

 

Ketika Prinsip Bertabrakan dengan Perut Kosong

Kita semua punya prinsip, setidaknya pernah. Prinsip itu gagah. Berdiri tegak. Jadi fondasi keputusan, arah hidup, dan pembeda dari orang-orang “yang hidup asal ikut arus.”

Sampai akhirnya, perut mulai kosong. Dan prinsip, yang dulu terdengar seperti manifesto revolusi, sekarang terdengar seperti beban yang terlalu berat dibawa naik ojek online.

Masih ingat masa ketika kita bilang: 
“Aku nggak mau kerja di perusahaan yang nilai-nilainya bertentangan sama aku.”

“Aku nggak akan ambil proyek kalau kliennya toxic.”
Lalu datang realitas: Kontrak habis, tabungan tinggal angka ganjil, cicilan nyenggol tanggal tua. Dan tiba-tiba, prinsip terasa seperti kemewahan yang cuma bisa dipelihara mereka yang kenyang.

Lalu kita bilang ke diri sendiri: 
“Aku nggak berubah kok. Ini cuma sementara.”

“Aku tetap punya batasan.”

“Yang penting nggak sampai jual diri.”
Tapi kadang kita bingung sendiri, sebenarnya jual diri itu mulai dari titik mana?

Ada Rasa Bersalah yang Aneh

Setiap transferan masuk dari kerjaan yang kita lakukan setengah hati, ada rasa bersalah yang nggak bisa dilawan.

Bukan karena uangnya haram. Tapi karena kita tahu: kita sedang jadi versi diri yang dulu pernah kita cibir. Kita dulu sinis lihat orang-orang yang kerja “demi uang”. Sekarang kita ikut antre. Dan rasanya seperti melihat mantan balikan sama orang yang pernah kita olok-olok. Aneh. Tapi ya sudah, kita nggak bisa marah juga.

Apakah Itu Berarti Kita Munafik? Mungkin. Tapi mungkin juga, manusiawi. Karena hidup bukan cuma soal benar dan salah. Tapi juga soal lapar dan kenyang. Soal apa yang ideal, dan apa yang bisa dilakukan saat ini. Karena bertahan hidup bukan berarti mengkhianati nilai, kadang itu syarat untuk bisa memperjuangkan nilai di hari lain.

Ada Harga yang Harus Kita Bayar

Harga dari mengorbankan prinsip bukan cuma rasa bersalah. Tapi juga, kehilangan arah. Kita mulai bingung, apa yang sebenarnya kita perjuangkan? Apa bedanya kita dengan semua orang yang kita anggap “ikut arus”? Dan yang lebih getir: kenapa arus itu rasanya malah lebih nyaman sekarang?

Dan, kita mulai bertanya:
  • Apa prinsipku dulu terlalu muluk? 
  • Apa idealisme itu cuma kemewahan orang-orang yang nggak butuh makan? 
  • Atau… apa aku sebenarnya pengin tetap idealis, tapi nggak tahu caranya di usia segini? 
Mungkin Jawabannya Bukan “Berhenti Ideal,” Tapi “Bertahap”. Kita bisa mulai dengan prinsip-prinsip kecil yang masih bisa dipertahankan:
  • Menolak kerjaan yang benar-benar bertentangan dengan hati.
  • Jujur saat nerima proyek meski nggak suka. 
  • Minta waktu istirahat meski takut dibilang “nggak kuat.” 
Karena prinsip yang terlalu besar kadang justru bikin lumpuh. Tapi prinsip yang disesuaikan bisa jadi bekal untuk tetap berjalan.

Penutup yang Tidak Menghibur, Tapi Mungkin Melegakan

Prinsip dan perut kadang memang duduk di sisi meja yang berbeda. Dan kita ada di tengahnya, jadi pelayan yang bingung harus menuangkan air ke gelas siapa dulu. Tapi hidup bukan soal memilih satu selamanya. Kadang kita hanya perlu cukup waras untuk tahu: 
Hari ini aku kompromi, supaya besok bisa kembali berjuang.
Dan kalau hari ini kita sedang berjalan di jalan yang nggak kita cintai, melakukan hal-hal yang nggak kita banggakan, pakailah topeng supaya bisa bertahan. Itu bukan berarti kita kehilangan nilai. Itu mungkin kita sedang cari jalan pulang. Dan itu pun, bagian dari perjuangan.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS