Kenapa Kita Cenderung Senang Melihat Orang Lain ‘Gagal’?

Oleh: Redaksi |
Kenapa Kita Cenderung Senang Melihat Orang Lain ‘Gagal’?
Sesuatu yang sering dirasakan, tapi jarang diakui secara terang-terangan: kita semua cenderung senang melihat orang lain menderita. Bukan dalam arti yang ekstrem, tentu saja, tidak ada yang berharap orang lain benar-benar menderita. Tapi, mari sejenak kita jujur. Terkadang, melihat orang lain jatuh, gagal, atau mengalami sedikit kesulitan, entah itu saat mereka tersandung di trotoar, gagal ujian, atau mengunggah foto yang ternyata tidak mendapat “like” yang cukup, memberikan rasa lega yang aneh.

Kenapa Kita Merasa Senang Melihat Orang Lain Kesulitan?

Kalau kita ngomongin hal ini dari perspektif sosial, ada istilah “schadenfreude” dalam bahasa Jerman yang berarti “rasa senang melihat penderitaan orang lain”. Kita mungkin tidak menyadarinya, tapi ini adalah fenomena universal. Mungkin ada yang berpikir ini hanya reaksi dari mereka yang kurang empati, tapi mari kita lihat lebih dalam. Mengapa kita sering merasa sedikit lebih baik ketika melihat orang lain menghadapi kegagalan, atau bahkan hanya mengalami sedikit kesulitan?

Salah satunya adalah karena kesulitan orang lain memberi kita rasa superioritas. Kita merasa lebih beruntung, lebih pintar, atau lebih hebat karena kita tidak berada di posisi mereka. Itu adalah cara otak kita untuk memberi sedikit kenyamanan pada ego kita. Misalnya, kamu melihat temanmu yang terjebak dalam antrian panjang dan marah-marah di media sosial karena menunggu lama di bank. Saat itu, apakah kamu merasa kasihan padanya? Mungkin. Tapi lebih besar kemungkinan kamu merasa, “Ah, untung aku tidak di sana.” Dan itu, teman-teman, adalah kebahagiaan kecil yang tiba-tiba hadir dalam hidup kita.

Kebahagiaan Seperti Itu: Luar Biasa, Tapi Cuma Sementara

Masalahnya, kebahagiaan seperti ini sifatnya sangat sementara. Kita bisa merasa puas sejenak, “Ah, hidupku lebih baik daripada mereka yang terjebak macet di jalanan”, tapi setelah itu, kita akan kembali ke kehidupan kita sendiri yang penuh ketidakpastian, kegelisahan, dan kecemasan. Lalu, kita kembali mencari dosis “schadenfreude” lainnya untuk memberi kita rasa lega sementara. Ini adalah siklus yang aneh, tapi sangat manusiawi.

Di dunia yang penuh dengan perbandingan ini, kita cenderung mengukur kebahagiaan kita berdasarkan standar orang lain. Kita cemas dengan pencapaian orang lain dan merasa sedikit lebih bahagia ketika mereka jatuh. Tentu, ini bukan berarti kita kejam, tapi justru ini adalah cerminan dari ketidakpastian dalam hidup kita sendiri.
 

Sistem Kapitalisme dan “Kesengsaraan sebagai Hiburan”

Kebahagiaan yang kita peroleh dari melihat penderitaan orang lain bahkan bisa menjadi lebih nyata dalam budaya kapitalisme. Di era media sosial, kita diajarkan untuk bersaing, untuk menjadi lebih sukses, lebih kaya, dan lebih bahagia daripada orang lain. Tetapi, jika kita gagal mencapai hal-hal tersebut, ada alternatif hiburan: melihat orang lain yang gagal. Lihat saja berapa banyak program televisi atau platform media sosial yang mengandalkan konten kegagalan orang lain untuk mendulang klik dan perhatian.

Kamu tahu konten viral seperti “gagal diet”, “gagal karier”, atau “gagal pacaran”? Ya, itu bagian dari kapitalisme yang memanfaatkan rasa ingin tahu kita tentang kegagalan orang lain. Penderitaan orang lain menjadi hiburan yang menguntungkan, dan kita sebagai penonton tidak hanya merasa terhibur, tetapi juga sedikit lega—“Ternyata bukan cuma aku yang gagal, ya.”

Rasa Takut dan Cemas yang Diredakan oleh Kesengsaraan Orang Lain

Kehidupan kita yang penuh kecemasan kadang membuat kita mencari pelampiasan, dan melihat orang lain lebih buruk dari kita adalah cara yang sangat efektif untuk mengurangi rasa takut dan cemas. Begitu kita melihat orang lain gagal, kita merasa seolah-olah hidup kita tidak begitu buruk, setidaknya tidak seperti mereka yang terjebak di antrian panjang atau yang ditinggal pacar mendadak tanpa alasan yang jelas.

Pada akhirnya, kita merasa sedikit lebih baik. Kita bisa tidur nyenyak malam itu tanpa terbangun di tengah malam dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: “Apakah saya sudah cukup sukses? Apakah hidup saya berarti?” Tidak. Kita tidur dengan damai, karena kita tahu bahwa meskipun hidup kita tidak sempurna, setidaknya kita tidak berada di posisi orang yang gagal itu.

Apakah Ini Benar-Benar Kebahagiaan?

Tentu, kita bisa mempertanyakan kembali, apakah kebahagiaan semacam ini benar-benar bisa kita sebut kebahagiaan? Kita bisa merasa senang melihat orang lain menderita, tetapi rasa bahagia ini datang dengan harga yang sangat tinggi. Mungkin kita bisa merasa lega, tetapi kita juga akan kehilangan empati kita. Dalam jangka panjang, perasaan ini akan mengarah pada perasaan kosong yang lebih dalam.

Namun, kenyataannya hidup tidak sesederhana itu. Kita hidup di dunia yang saling terhubung dengan penuh perbandingan, dan tidak jarang kita merasa bahagia atas dasar penderitaan orang lain, meski itu hanya kebahagiaan sementara yang datang dari kelelahan mental kita. Jadi, apakah itu salah? Mungkin tidak. Itulah kenyataan yang kita hadapi.

Refleksi: Mencari Kebahagiaan yang Lebih Abadi

Sebenarnya, kebahagiaan yang lebih abadi datang dari pengertian dan kesadaran bahwa hidup ini tidak selalu tentang menang. Melihat penderitaan orang lain dan merasa sedikit lebih baik bukanlah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati mungkin datang ketika kita bisa merayakan kebahagiaan orang lain tanpa merasa terancam oleh keberhasilan mereka. Itulah kebahagiaan yang lebih dalam, bukan berdasarkan penderitaan, tetapi berdasarkan solidaritas dan empati.

Tapi hei, sampai kita bisa mencapai level kebahagiaan yang lebih mulia itu, kita akan tetap tertawa saat melihat teman kita terpeleset di jalan, atau merasa sedikit lebih baik saat melihat seseorang gagal ujian. Karena pada akhirnya, kita semua manusia yang hanya berusaha untuk bertahan hidup di dunia yang penuh dengan kesengsaraan dan kebahagiaan yang saling bertukar tempat.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS