Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara kita berinteraksi dengan realitas. Dahulu, kebenaran punya bobot moral. Sekarang, ia dinilai berdasarkan engagement rate. Kebenaran harus punya estetika viral: clickbait, penuh emosi, atau minimal disampaikan oleh orang dengan followers banyak. Kalau tidak? Maaf, kamu kalah sebelum masuk gelanggang.
Dari Rasional ke Emosional: Evolusi yang Aneh
Zaman ini bukan zaman akal sehat. Ini zaman akal selektif. Otak masih dipakai, tapi hanya untuk mendukung apa yang sudah kita percayai. Semacam tim marketing internal: “Cari bukti bahwa saya benar, atau minimal, tidak sepenuhnya salah.” Emosi menjadi kurator utama dalam museum keyakinan kita. Yang tidak bikin nyaman, langsung dikeluarkan dari pameran.Ini bukan cuma terjadi di dunia maya. Di grup keluarga WhatsApp pun begitu. Kebenaran sering kalah oleh stiker lucu dan video editan yang menyentuh nostalgia. Dan anehnya, semakin lucu hoax-nya, semakin susah dilawan. Karena lawan terbesarmu bukan kebodohan, tapi rasa nyaman kolektif.
Kebenaran sebagai Makhluk Minoritas
Sekarang bayangkan kebenaran sebagai minoritas yang sedang demonstrasi damai di tengah konser dangdut: suaranya tertelan, keberadaannya dianggap gangguan, dan semua orang cuma ingin berjoget. Ironisnya, bahkan orang-orang yang secara akademik tahu cara memverifikasi informasi pun bisa ikut berjoget. Karena ya itu tadi: kebenaran tidak selalu menyenangkan. Tapi dangdut? Selalu asik.Dan karena itu, banyak orang akhirnya memutuskan untuk “netral”. Mereka bilang, “Semua pihak pasti salah juga kok.” Ini sikap aman yang tampak bijak, tapi sebenarnya bisa sangat berbahaya. Karena dalam kondisi di mana kebohongan terus dipoles dan disebar, menjadi netral sama dengan memberi jalan bagi dusta untuk jadi normal.
Apa Gunanya Tetap Waras?
Di tengah semua ini, kita mungkin bertanya: “Apa gunanya tetap berpikir waras?” Jawabannya mungkin tidak memuaskan, tapi tetap penting: karena kebenaran bukan soal menang atau kalah, tapi soal bertahan. Ketika semua orang menjual fantasi, tugas orang waras adalah tetap membisikkan realitas, meski cuma terdengar oleh satu-dua orang di pojokan.Dan mungkin, pada akhirnya, suara-suara kecil itulah yang menyelamatkan kita dari tenggelam total dalam euforia kepalsuan. Mungkin tidak sekarang. Tapi suara jujur punya daya tahan yang tidak dimiliki suara viral: ia bisa diam lama, tapi tidak mati.