Kalau Tuhan Tidur, Siapa yang Berani Membangunkan?

Oleh: Redaksi |

Ada satu ungkapan Jawa yang menenangkan sekaligus menakutkan: “Gusti mboten sare”. Tuhan tidak tidur. Kalimat ini sering dipakai saat kita melihat ketimpangan sosial, ketika hukum terasa ompong menghadapi orang kaya, tapi tajam mencabik kaum lemah. Ia adalah kalimat penenang, bahwa jika dunia ini kejam, masih ada langit yang mencatat. Bahwa jika keadilan di bumi bisa dibeli, di langit masih ada neraca yang tidak bisa disuap. Tapi, mari kita main-main sebentar: bagaimana kalau Tuhan tidur? 

Tentu ini cuma permainan pikiran. Sebuah hipotesis konyol, tapi barangkali bisa membuka ruang renung. Seandainya Tuhan tidur, siapa yang berani membangunkan? Atau lebih tepatnya, siapa yang cukup nekat, cukup kurang ajar, atau cukup putus asa untuk mencoba?

Dalam teologi yang mapan, Tuhan itu Maha Melihat, dan Maha Mengetahui. Jadi ide Tuhan tidur tentu akan langsung dianggap sesat atau minimal tidak sopan. Tapi dari sisi lain, sisi yang lebih filosofis dan sedikit ngaur, ungkapan itu justru bisa jadi cermin bagi manusia.

Ketika kita menyaksikan korupsi merajalela, kejahatan menguasai lembaga, dan rakyat hidup dengan mie instan plus air galon isi ulang yang diragukan halal-higienisnya, kadang-kadang kita tergoda bertanya: “Lho, Gusti tenan mboten sare to? Mosok ming ndelok wae?”

Tapi mari jujur, bukankah pertanyaan itu bukan untuk Tuhan, melainkan untuk kita sendiri? Jangan-jangan selama ini yang tidur bukan Tuhan, tapi kita. Kita yang melihat ketidakadilan lalu menyandarkannya pada “biar Tuhan yang balas,” (sambil rebahan). Kita yang menyaksikan kemunafikan berkuasa, tapi memilih diam demi ketenangan hidup. Lalu menyebut itu “pasrah” atau “tawakal.” Padahal cuma males ribet.

Siapa yang Membuat Tuhan Tampak Seperti Tidur?

Barangkali Tuhan tidak pernah tidur. Tapi sistem, kekuasaan, dan kita sendiri yang membuatnya seolah sedang lelap. Kita menutup mata terhadap penderitaan orang lain, lalu memohon agar Tuhan membuka mata-Nya lebar-lebar. Kita menyembunyikan kebusukan di balik doa, berharap langit tidak mencium baunya. Kita membuat Tuhan tampak seperti tidur karena kita sendiri yang enggan bangun.

Kalau Tuhan tidur, bukan karena mengantuk. Tapi mungkin karena kita yang mematikan lampu nurani dan menyelimuti kebenaran dengan selimut nyaman bernama kepentingan. Dan coba pikir, kalau Tuhan memang tidur, apakah kita punya alarm yang cukup keras untuk membangunkan-Nya? Apakah derita kaum miskin cukup nyaring? Apakah doa-doa kita cukup tulus?

Atau jangan-jangan, yang kita inginkan bukan agar Tuhan bangun, tapi agar Tuhan tetap tidur, supaya kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa takut diadili.

Tuhan dan Ironi di Kantor Layanan Publik

Hampir semua kita pernah masuk ke kantor layanan publik, mengurus dokumen penting, lalu petugasnya bilang, “Tunggu ya, Pak, sistemnya down.” Lalu kamu menunggu, dan menunggu, dan menunggu… seperti menunggu balasan WhatsApp dari mantan. Akhirnya kamu bertanya: “Sistemnya tidur ya, Pak?”

Bayangkan kalau Tuhan juga begitu. “Mohon maaf, doa Anda dalam antrean. Silakan tunggu 3-5 hari kerja. Harap tidak mengirimkan doa ganda.” Untungnya, Tuhan tidak seperti itu. Tapi kadang, manusialah yang membuat sistem ketuhanan tampak seperti kantor pelayanan, berbelit, tertutup, penuh calo moral.

Bangunkan Diri Sendiri

Jadi kalau Tuhan tidur, siapa yang berani membangunkan? Jawabannya: kita tidak perlu membangunkan Tuhan, karena Tuhan tidak tidur. Yang harus dibangunkan adalah kita.

Kita yang tertidur dalam kemapanan. Kita yang pura-pura tidak tahu. Kita yang lebih takut kehilangan kenyamanan daripada melihat kebenaran. Kita yang lebih sering menyalahkan Tuhan atas derita dunia, padahal kita sendiri yang menjadi penyebabnya.

Dalam setiap tragedi sosial, bukan Tuhan yang tidur. Barangkali, Dia hanya sedang menunggu: siapa di antara kita yang berani bangun, dan membuat dunia ini sedikit lebih adil, meski tanpa jaminan surga langsung.

Dan ingat, tidak seperti Tuhan, kita ini mudah ngantuk. Jadi sebelum kita tertidur lagi dalam kelumpuhan moral, mari kita bangun… dan mulai dari diri sendiri.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS